Sepulang sekolah, Alma tidak segera ke kamar. Dia duduk di sofa ruang tamu rumah sambil bersandar. Mata terpejam dan napas teratur, bersyukur hari ini tidak ada yang mengejar. Entah besok, tetapi Alma masih belum mau menyerah. Walau hanya memiliki sekelumit harapan, tetap saja Alma belum mau menyerah.
"Alma, akhirnya kamu sudah pulang." Delara berjalan menghampiri, membuat Alma perlahan membuka mata. Mengalihkan pandangan pada sang ibu yang tersenyum ke arahnya.
"Iya, Bu." Kedua sudut bibir terangkat, membentuk senyum.
"Bagaimana sekolahmu?" Langsung mengambil duduk di samping Alma, memperhatikan dengan tenang.
Alma mengangguk mantap. "Alhamdulillah, semua baik-baik saja."
"Syukurlah, ibu senang kalau semua baik-baik saja dan nggak ada yang ngejar kamu."
Alma tersenyum, menggeser duduk lalu segera memeluk sang ibu. Begitu tenang dan nyaman. Namun, dengan cepat pikirannya teralih ke Sakha. Sampai kemarin, Alma belum bercerita apa pun tentang rencana mereka pada ayah atau ibunya.
Bukan bermaksud menyembunyikan, lebih tepatnya belum sempat bercerita. Mungkin sekarang waktu yang cocok untuk memberitahukan.
"Hm, ibu?"
"Ya?"
"Ada yang mau bantu Alma untuk menemukan orang itu." Alma melepas pelukan, duduk tegak lalu melihat Delara.
"Benarkah, siapa?"
"Sakha, tadi dia bantu Alma. Besok juga mau bantu Alma."
"Kalau begitu bagus, ibu nggak akan melarang karena semua ini demi kebaikan putri ibu sendiri."
"Tapi, bagaimana kalau dia lebih berani mencelakai Alma dan mencelakai Sakha juga?"
"Ada yang jagain Alma di sana, tenang aja. Kalian berdua akan dijaga dari jauh." Tangan mengarah ke pipi, mengelus pelan pipi putrinya sambil tersenyum. Membuat Alma ikut tersenyum manis tanpa paksaan.
"Terima kasih ibu." Alma kembali memeluk ibunya.
"Iya, sama-sama." Delara membalas pelukan putrinya, mengelus puncak kepalanya.
***
Motor terparkir, helm dilepas dan tertata. Alma merapikan rambut, lalu bergegas memasuki SMA Akasia.
Langkah santai, pandangan tenang. Pagi ini, hawa sedikit lebih dingin dari sebelumnya membuat Alma mengenakan jaket.Saat sudah mau sampai ke pintu kelas, dari dalam terdengar suara perbincangan beberapa teman. Tampaknya mereka datang lebih pagi hari ini. Tepat di depan pintu, Alma menghentikan langkah. Mempertajam netra, juga pendengaran, mempersiapkan diri barangkali ada sesuatu yang tak terduga di balik sana. Ya, berstatus murid baru tak selamanya menyenangkan. Ada saja alasan tak baik untuk menjatuhkan.
Namun, ini Almaira Mahveen. Bukan seorang gadis lemah, tanpa perlawanan. Perlahan, tangan mengarah pada pintu tertutup. Sudah dari depan saja, Alma dapat menghirup aroma permusuhan. Pagi waktu pintu kelas dibuka, yang piket mulai bersih-bersih. Kemudian ini? Terasa tidak ada hal seperti itu, tentu patut dicurigai.
Alma mendorong pelan pintu tersebut, terlihat Zalfa dan Aiyra berdiri tak jauh dari ambang pintu, membuat Alma sama sekali tidak maju dari tempatnya tadi berdiri.
"Aku mau masuk, minggir," ucap Alma.
"Anak baru, sok banget!" Zalfa melipat tangan, maju selangkah tepat di ambang pintu, memandang Alma penuh amarah. Tak mungkin lupa, dengan perbuatan Alma yang memperlihatkan video pada Azlan, sehingga membuatnya makin jauh dari pemuda itu.
"Huh! Zalfa, aku mau ma--" Belum sempat melanjutkan bicaranya, Zalfa sudah terlebih dahulu memotong.
"Jangan banyak bicara kamu!" Bersamaan dengan ucapannya, Zalfa melayangkan satu tamparan, melesat cepat menuju pipi mulus Alma. Akan tetapi, dalam hitungan detik saja Alma berhasil meraih tangan Zalfa. Menghempas kasar, membuat tubuh Zalfa terdorong.
"Beraninya kamu dorong Zalfa, Alma!" Aiyra membulatkan mata, menatap tajam. Tampak tak terima, dengan perlakuan Alma kepada temannya.
"Sampai hari ini, ibuku saja nggak pernah, tuh, mau menamparku. Terus kenapa aku harus membiarkan, ada orang lain yang mau melakukan hal seperti itu padaku?" Tepat sasaran, kali ini ucapan Alma berhasil menutup rapat bibir Zalfa dan Aiyra. Mereka hanya terlihat marah, tanpa mampu berkata-kata.
Akhirnya Alma dapat melangkah sekali, karena Zalfa yang terdorong membuka sedikit ruang gerak untuk makin masuk ke kelas. Saat ini, Alma sudah berdiri di ambang pintu. Entah apa yang terjadi pada pola pikir teman-temannya. Sekolah tempat menimba ilmu, justru menjadi bahan lelucon seperti ini. Sangat menyedihkan.
Ada pergerakan pada bola mata Zalfa, melirik ke kanan lalu ke kiri. Membuat Alma ikut memperhatikan dan tak lama ... secepat mungkin, Alma menarik Zalfa berdiri di ambang pintu, mengganti posisi, mengabaikan suara penolakan dari Zalfa. Sementara Alma mengganti posisi Zalfa berdiri tadi.
Mau menghindar? Sudah terlambat. Tepung, bercampur telur dan air telah membasahi sekujur tubuh Zalfa. Ternyata ada dua orang menjaga kedua sisi tersebut. Sisi kanan bertugas memegang tali, ember yang berisi tepung, sisi kiri berisi telur dan air. Bersiap menarik, jika sudah mendapat aba-aba. Akan tetapi, sepertinya mereka mendapat aba-aba yang tidak akurat.
"Aaa! Rambutku yang indah!" teriakan dan ocehan dibarengi rasa jijik, keluar dari mulut Zalfa. Tak terima rambut indah bak seorang bintang iklan pada salah satu merek sampo ternama, harus berbau amis. Tidak!
Bertindak apatis, melanjutkan langkah menuju tempat duduknya. Puas melihat perbuatan jahat, kembali pada siapa yang menciptakan. Alma berusaha menyembunyikan tawa sambil menaruh tas.
Sementara itu, Zalfa pergi dari sana dengan cepat. Mungkin akan pulang untuk mandi, dengan sabun dan sampo yang banyak. Anak orang berada, tak masalah kalau menghabiskan banyak sabun atau sampo, orang tuanya pasti tidak akan marah. Untung saja hanya Aiyra dan kedua temannya yang melihat Zalfa, bagaimana jika seisi kelas melihat? Bisa hilang citra diri yang begitu dijaga.
"Ada apa ini, Aiyra!" Suara yang tidak asing di indra pendengaran Alma. Sedikit meninggi dan terkesan marah. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kalian bertiga harus bersihkan semuanya."
"Bb--ukan kita, bukan kita, 'kan?" ucap Aiyra, lalu melirik kedua temannya.
"Iya, Arga, bukan kita," sahut gadis lain dan diikuti anggukan teman di sampingnya.
"Terus siapa? Masa hantu. Ini masih pagi, masih pagi." Arga menunjuk suasana luar yang terlihat cerah. "Pokoknya, aku nggak mau tau. Kalian harus bersihkan semuanya, ayo!" titahnya.
"Apa!" ucap ketiganya bersamaan.
Arga langsung menutup telinga, suara mereka benar-benar tak bisa diremehkan. Dalam sekejap saja, ketiganya menolak dengan berbagai alasan. Inilah hal yang sangat disayangkan, sebab berani berbuat tak berani bertanggung jawab.
"Nggak mau!"
"Bau telurnya nanti nempel, Arga."
"Itu bukan aku, kok, yang buat, ish!"
"Mereka yang buat bersama Zalfa, aku saksinya." Tanpa merasa takut Alma datang menghampiri. Tatap tajam, juga sikap yang tak suka langsung didapat Alma dari ketiganya. Namun, membuat Arga tidak bingung lagi tentang siapa pelakunya.
"Nah, sekarang sudah jelas. Tunggu apalagi, ayo mulai bersihkan!" titah Arga sekali lagi pada mereka.
Aiyra mendengus kesal, lalu beranjak pergi menuju toilet diikuti keduanya. Bergegas mengambil alat yang bisa dipakai untuk membersihkan semua. Melihat mereka seperti itu, membuat Alma hanya menggeleng-geleng. Ya, Alma memilih jujur daripada nanti Aiyra dan teman-temannya menuduh orang lain. Tentu tidak adil bagi siapa saja yang mendapat tuduhan itu, lebih baik terbuka agar keadilan yang sebenarnya terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argia (Tamat)
Mystery / ThrillerKetika gelap berada dalam kehidupan, ketakutan atau mungkin merasa sedih. Menutup segala macam rahasia diri atau mengambil tindakan berani. Berharap lepas dari gelap, tetapi justru makin terjebak. Berbagai macam pertanyaan bermunculan, menghadirkan...