1.5: Tenang Sebelum Badai

14 5 1
                                    

Acara Pekan Raya Fakultas Ekonomi dan Bisnis diselenggarakan oleh BEM Fakultas dalam rangka road to anniversary FEB. Selama satu minggu penuh, Pekan Raya FEB sekaligus jadi ajang silaturahmi antar angkatan maupun antar jurusan. Biasanya perhelatan ini menjadi saksi bisu bagaimana benih-benih cinta yang disebar selama ospek kampus ke banyak mahasiswa baru oleh para kakak tingkat atau sebaliknya, lalu ditanam oleh beberapa orang yang terkena tipu daya dan akal bulus, disiram setiap hari dengan perkataan dan perbuatan manis, akhirnya berbuah di relung sanubari si sosok terpilih (entah satu atau lebih). Semarak yang dibawa oleh umbul-umbul tegak di sepanjang jalan Fakultas merangsak masuk ke dalam hati yang dimabuk asmara.

Masa pendekatan hingga awal jadian itu biasanya Rembulan kategorikan sebagai euforia.

Suara stutter kamera mengejutkan Rembulan yang tengah memindai beragam kuncir rambut handmade buatan salah satu kakak tingkat perempuan. Berbalik ke belakang, ia menemukan sosok pemuda tersenyum manis melihat kamera. Seakan bangga akan hasil jepretannya.

"Ih, Kak Artur!" Rembulan mencebik. "Gak boleh tau ngefoto orang diem-diem!" Bibirnya kini manyun.

"Tapi hasilnya bagus, loh." Arcturus memasang wajah murung. "Hapus aja, deh."

"Jangan diapus! Aku mau liat." Rembulan melangkah mendekat.

Perbedaan tinggi membuat Artur mau tidak mau menumpukan banyak berat di badannya ke satu sisi, tubuhnya condong ke kiri. Dari jarak sedekat ini, hidung Rembulan dapat mencium wangi parfum Artur. Sepintas ia pikir parfum Artur beraroma seperti lautan, namun di detik berikutnya ia berbau seperti udara segar di pegunungan. Karena baik lautan maupun udara pegunungan selalu menimbulkan efek menenangkan (bukannya manusia sangat suka pergi ke dua tempat itu untuk mendapatkan ketenangan?) maka Rembulan menarik sebuah konklusi atas rasa tentram yang acapkali menyambangi batinnya ketika bersama sosok Artur.

Ia membawa ketenangan. Setidaknya bagi Rembulan.

"Hapus, gak, nih?" tanya Artur.

"Ini kamera siapa?"

"Kamera inventaris."

Rembulan membelalak. "Heh, hapus, lah! Nanti pubdekdok lain liat fotoku, aku malu."

"Iya, nanti dihapus." Artur mengarahkan kameranya ke kerumunan mahasiswa di tenant lain.

"Sekarang!" protes Rembulan.

Artur—masih berlagak tak acuh—berkata, "Iya, nanti. Aku pindahin dulu fotonya ke hape."

Kalimat sesederhana itu tidak bisa diproses dengan baik oleh otak Rembulan. Ia bergeming, seperti komputer ketika salah satu software-nya not responding. Kemudian, setelah kalimat itu dapat diterima dengan baik oleh prosesor di dalam otaknya, aliran darah mengalir begitu cepat ke kedua pipinya. Terlalu cepat, sampai Artur terkikik melihat pipi si gadis merah merona sebelum akhirnya disembunyikan kedua telapak tangan Rembulan.

"Bulan."

Bagi Rembulan, suara Artur bagai deburan ombak yang berirama ketika mencumbui bibir pantai.

"Nanti malem, senggang?"

Setiap kalimat yang ia utarakan mampu membawanya ke padang bunga yang di setiap putiknya dihinggapi kupu-kupu.

"Ada kafe kecil tempat aku biasa nongkrong buat sekedar ngerjain tugas. Agak jauh dari sini, tapi chamomile tea-nya enak. Kalo senggang, mau temenin aku ke sana?"

Padahal Artur tak perlu bertele-tele. Ia tidak butuh alasan untuk mendapat anggukan dari Rembulan. Ke tepi pantai maupun ke padang bunga, asal dengan Artur, Rembulan mau.

Orenda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang