1.6: Matahari Juga Bintang

10 6 2
                                    

Mama Artur duduk lemas di punggung kursi sambil merapal nama si putra, sedangkan Ayah Artur menggenggam erat tangan sang istri. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut, kepalanya menunduk. Seakan mereka pasrah. Seakan berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan anak pertama mereka sudah tidak ada gunanya. Pemandangan itulah yang pertama Rembulan lihat setibanya ia di lorong rumah sakit. Di tiap langkah menuju ujung, ia bisa mendengar suara degup jantung. Ia bergegas lebih cepat. Lyra menjadi orang yang menyambut kedatangan Rembulan. Memeluk si gadis, merasa kasihan. Sementara kepala Rembulan terpaku ke arah satu pintu dengan kaca bening yang tertanam di tengah.

Laut dengan riak yang tenang itu telah menyeret Rembulan. Ia tenggelam. Semua kalimat penenang yang diucapkan baik Lyra maupun Mama Artur tidak terdengar jelas. Kata-kata yang ia tangkap tersendat-sendat dan acak.

"Artur ... dokter sudah berusaha ... kritis ... berdoa ... semoga Artur cepat sadar ...."

Lalu pandangannya memburam.

---

"Kak Bulan!" Seruan Lyra menyapa Rembulan yang bersimbah keringat.

Rembulan melangkah ke tempat Artur berbaring. Jantung di rongga dada-nya masih melompat, entah karena ia baru saja berlari dari kantin rumah sakit atau berdebar lantaran kabar yang membuatnya berlari.

"Kak Bulan di mana? Kak Artur barusan buka mata!" Begitu pekik Lyra di telepon beberapa menit lalu. Rembulan berlari dengan segenap harapan yang membuncah. Namun, sosok yang berada di hadapannya malah tidak menunjukkan energi kehadiran. Ia masih terlelap.

"Artur ...," lirih Rembulan. Ia berupaya keras meredam suara.

Lyra mendekat. "Barusan dia sadar. Gak lama dari aku tutup telepon, dia tidur lagi. Maaf, ya, Kak, jadi bikin kakak lari. Kupikir Kak Artur bakal—"

"Gak apa-apa," potong Rembulan.

Dadanya terasa sesak. Padahal semalam suntuk Rembulan di sini, menggenggam tangannya, berbicara tentang apa saja yang bisa dibicarakan, dan memanggil namanya. Lantas mengapa dari sekian banyak waktu yang bergulir, Artur memilih membuka mata ketika Rembulan pergi sebentar?

Membisu. Tidak ada jawaban atas pertanyaan dalam benak Rembulan.

Keduanya tegak berdiri. Berjarak satu langkah dari sosok yang mereka pandangi.

Dalam kesenyapan yang menyiksa, Rembulan merutuki Artur. Ia melontarkan sumpah serapah. Di dalam otaknya sedang menyusun skenario, seandainya Artur bangun nanti, ia akan melayangkan banyak pukulan ke dada si pemuda. Supaya ia tau bagaimana rasa sakit yang Rembulan tanggung di bagian itu.

Ragu-ragu, ia memangkas jarak. Berdiri di samping ranjang Artur, lalu digenggamnya kembali jemari si lelaki.

"Gak apa-apa." Ia mengulang kalimat itu.

Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk membuka mata. Timing-nya saja yang tidak tepat.

"Gak apa-apa."

Atau mungkin dia berusaha mencegahku pergi.

"Gak apa-apa."

Atau mungkin dia lebih rindu dengan Lyra. Iya, kakak mana yang gak kangen sama adiknya?

"Kak," Kali ini suara Lyra, "mulai sekarang kalau butuh apa-apa bilang aku aja. Biar aku yang beliin."

Rembulan menyunggingkan senyum. "Makasih." Matanya sama sekali tidak melirik sosok Lyra. "Aku ke rooftop dulu, cari angin."

---

2020.

"Bang," Suara Rayi ketara keraguan, "mau nanya."

Orenda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang