0.9: Matahari si Pemerhati

16 8 15
                                    

Suara denting spatula beradu dengan penggorengan, suara kendaraan berlalu-lalang, suara tawa menggelegar dari kumpulan pemuda kampus di sudut ruangan, dan dari semua suara yang ada keduanya lebih fokus pada suara debaran jantung yang mendominasi, memekakan rungu, menguasai logika.

Mereka tidak jadi ke alun-alun. Kata Rembulan akan memakan banyak waktu untuk pulang-pergi, sedangkan panitia harus kembali rapat di kampus sehabis Isya. Jadilah mereka di sini, di tempat nasi goreng terdekat sambil dibisik-bisiki manusia sekeliling yang kebetulan mengenal Radit atau Rembulan.

"Jadi, gimana hari ini?" tanya Radit, mengusir canggung. Tempat ini ramai, mungkin karena kebetulan sedang ada kegiatan di kampus. Radit sangsi pesanan mereka akan segera datang. Mengobrol dapat membuat waktu seakan berotasi lebih cepat.

"Gimana, ya ... capek? Tapi, seneng juga. Rasanya udah lama gak berinteraksi sama banyak orang selain Naya dan teman-teman kelas." Rembulan tersenyum simpul. "Kamu?"

"Saya seneng kalo kamu—"

Pesanan mereka datang. Keduanya mengucapkan terima kasih dengan alasan yang berbeda; Rembulan berterima kasih karena si pelayan sudah mengantarkan makanan, sedangkan Radit berterima kasih karena si pelayan telah mencegahnya mengeluarkan kalimat yang akan kembali membuat canggung.

"Maaf, tadi bilang apa?" Rembulan bertanya.

"Oh, saya senang kalo orang di sekitar saya senang. Jadi, kesimpulannya hari ini menyenangkan."

Rembulan mengunyah suapan pertama. "Berarti buat kamu, setiap hari menyenangkan, dong?"

"Hah?"

"Kata Naya, kamu suka ngelawak di kelas. Ngelawak, kan, bikin banyak orang ketawa karena senang. Berarti, setiap hari bagi kamu menyenangkan?"

Mulut Radit bergerak membentukk huruf "O" setelah sadar maksud pernyataan Rembulan.

"Tapi saya bingung kenapa dosen gak suka liat saya bercanda. Padahal niat saya baik, mencairkan suasana. Kenapa, sih, dosen rata-rata gak suka suasananya dicairin?"

"Mungkin bagi mereka suasana santai bikin mahasiswa gak konsen belajar."

"Tapi suasana serius bikin ngantuk. Saya liat-liat temen kelas saya kalo dengerin dosen suka sampe merem, setelah saya ngelawak mereka seger lagi. Dosen-dosen, tuh, harusnya berterima kasih sama saya."

Rembulan menggeleng, tidak habis pikir akan jalan pikiran pemuda di hadapan. Akan tetapi, lewat obrolan ini, Rembulan jadi paham bahwa pandangan beberapa orang—termasuk Naya—yang menganggap Radit tidak pernah berpikir ketika akan berbicara, nyatanya salah.

"Kamu ternyata pemerhati, ya." Rembulan meyeruput es teh manis. "Persis kayak nama kamu; matahari. Ia suka memerhatikan planet lain mengelilingi, juga memancarkan sinar secara cuma-cuma. Kalo untuk kasus kamu, kamu suka melihat orang lain dan membagikan kebahagiaan secara cuma-cuma."

"Radit itu artinya matahari. Kalau matahari di atas sana tugasnya membagikan cahaya, kalau kamu bertugas membagikan rasa bahagia."

Perkataan Rembulan menarik kembali ingatan Radit bersama sang ibu. Jemarinya lemas hingga sendok yang ia genggam terlepas, terbanting pelan. Terkesiap. Ia segera beralih pada si sisa minuman, menandaskannya dalam sekali teguk.

"Kenapa, Dit?"

Radit mengusap mata yang berair. "Saya ngunyah cabe utuh. Pedes."

"Kayaknya dari acarnya, deh," ujar Rembulan sambil menyodorkan minuman miliknya. "Nih, abisin punya saya kalo masih kepedesan."

Radit mau tak mau menandaskan juga minuman Rembulan.

---

Ospek hari kedua sekaligus hari terakhir berjalan lebih lancar daripada kemarin. Nampaknya desas-desus hukuman kejam yang diberikan oleh komdis sudah sampai ke telinga banyak mahasiswa baru sehingga lebih sedikit dari mereka yang melanggar peraturan.

Euforia dirasakan ketika pelaksanaan penjemputan oleh masing-masing ormawa fakultas. Tabuh genderam fakultas teknik membahana. Smoke bomb beraneka warna sesuai warna fakultas bersemarak di udara. Teriakan jargon fakultas saling menyahut tak kunjung reda. Banyak panitia melebur, bergabung dengan para ormawa.

Orang bilang, ketika kamu jatuh cinta maka kemanapun kamu pergi, seramai apapun tempat yang kamu pijak, kamu akan dengan mudah menemukan sosok yang diam-diam kamu cari seakan semesta berkonspirasi—ikut andil dalam membantumu mencari. Dan Radit baru saja membuktikan bahwa konspirasi semesta itu betul adanya.

Radit berlari kecil, mengekor tepat di belakang Rembulan. Telunjuknya menjawil pundak Rembulan sebelah kanan, lalu ketika si puan menengok, ia menghindar ke sebelah kiri. Jahil sekali Radit Putra Matahari.

"Kaget!" gumam Rembulan sembari menyikut Radit pelan.

"Habis serius banget kayak maba."

"Tapi gak seserius dosen kamu, 'kan?"

"Dosen aku, dosen kakak juga."

Kerumunan berhenti di depan gedung fakultas masing-masing. Setelah meneriakkan jargon andalan mahasiswa, si Ketua BEM mulai melakukan penyambutan. Awalnya megaphone di genggamannya berfungsi dengan baik, namun di pertengahan suaranya semakin tidak jelas. Melihat hal itu, seorang anggota BEM yang juga menggenggam alat yang sama berinisiatif membelah barisan. Ia hendak memberikan alatnya kepada sang Ketua.

Radit menarik pelan siku Rembulan mendekat agar tidak tersenggol mahasiswa-mahasiswa lain yang mulai saling menghimpit. Ia refleks merengkuh erat pundak Rembulan ketika si anggota BEM mendesak di barisan dekat mereka.

"Gimane, sih, bukannya ambil jalur di luar barisan!" gerutu Radit.

Sementara Rembulan masih termenung di dalam rengkuhan si pemuda. Hangat menjalar. Ia dapat merasakan detak jantungnya seirama dengan detak jantung Radit yang berdebar cepat. Menyadari posisi mereka, Radit segera melepas rangkulan. Berdeham kencang, berusaha menyembunyikan kesalah tingkahan. Rembulan melakukan hal yang sama.

Orenda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang