1.4: Tentang Bintang

10 5 0
                                    

Keduanya tertegun di ambang pintu. Rembulan menatap wajah yang sarat akan rasa rindu di hadapannya. Wanita itu berambut sebahu dan warnanya abu-abu—beberapa ada yang putih—akibat proses perubahan kadar melanin (zat warna yang dihasilkan dari sel-sel melanosit membuat warna kulit dan rambut menjadi lebih gelap).

"Nak Bulan," ucapnya lantas merengkuh tubuh kurus Rembulan yang mau sesehat apapun kelihatannya, bagi wanita berumur lebih dari setengah abad itu Rembulan tetap gadis rapuh sampai-sampai ia sendiri tak tega terlalu lama memeluk erat gadis yang pernah—atau masih—dicintai anaknya.

Rembulan membalas rengkuhan sang wanita, matanya terpejam, hidungnya menghidu napas sedalam-dalamnya hingga napasnya sesak. Kilas balik perjalannya dari indekos hingga sampai ke rumah ini segera menyerang Rembulan. Ada banyak kekhawatiran di setiap langkah. Bagaimana jika Mama—ia memanggil perempuan ini dengan sebutan Mama—tidak mau menerima kehadirannya? Bagaimana jika situasinya canggung? Bagaimana jika ia diusir? Kalaupun diperbolehkan masuk, apa yang akan ia bicarakan? Sebenernya apa maksud dan tujuannya melangkah kembali ke rumah ini setelah enam bulan lamanya?

Sekarang pertanyaan yang terus mencokol di benaknya itu telah luruh. Digantikan rasa rindu yang amat dalam hingga ia sigap balik merengkuh.

Sang wanita memberi jarak, kedua tangannya masih memegang erat lengan Rembulan. "Masuk dulu, yuk." Memandangi lagi rupa Rembulan, ia tersenyum lantas menarik tangan Rembulan memasuki rumah.

Rembulan segera menyapukan pandangan ke seantero kediaman. Meski telah lama tak ia sambangi, namun rupanya bagian dalam rumah ini masih persis seperti yang ada dalam kenangannya. Perbedaan hanya terjadi di halaman rumah; bunga-bunga nampak kurang terurus. Padahal dulu, deretan tanaman itu adalah hal yang paling dibanggakan oleh wanita ini. Acapkali Rembulan bertandang, ia akan memamerkan hasil jerih payahnya merawat mereka.

Wanita itu kembali dengan teko keramik kecil. Asap mengepul dari corong yang bentuknya seperti leher angsa.

"Kuliah kamu gimana, Nak, lancar?" ucapnya sembari mendorong cangkir teh bening kepada Rembulan.

"Lancar, Ma. Udah ngajuin judul skripsi juga, tinggal nunggu kabar disetujui atau enggak."

Rembulan tau wanita yang tengah duduk di single sofa itu menahan kalimat yang ada di kepalanya. Sama-sama mengerti akan jadi seperti apa keadaan apabila topik tentang anak sulungnya terlontar.

Rembulan mereguk teh setelah meniup permukaan air kecoklatan hingga asapnya pergi.

Pikiran keduanya kembali jernih. Pada saat itu pula keduanya mengerti bahwa topik tersebut tidak bisa dihindari. Toh, keduanya bertemu kembali di sini pun karena si sulung.

Kepala sang wanita tua menoleh ke deretan foto berbingkai yang terjajar rapi di dinding. Di paling tengah dan bingkainya paling besar adalah foto keluarga kecil beranggotakan empat orang. Di sanalah Rembulan dapati sosok sulung keluarga ini tersenyum cerah sekali. Bingkai-bingkai kecil di sebelah kiri menunjukkan pertumbuhan sang adik perempuan, mulai dari bayi hingga masa SMA. Hal serupa juga menghiasi yang kanan, bedanya foto-foto tersebut milik si putera pertama, Arcturus.

"Kalau Artur masih ada, mungkin foto dirinya pakai toga sudah terpajang." Ia menaruh cangkir teh-nya. "Mau ke atas?"

Tanpa menunggu jawaban, sang wanita tua beranjak dari sofa ruang tamu. Ia melambai, isyarat agar Rembulan membuntuti. Rembulan baru akan memijak anak tangga sewaktu sang wanita berujar, "Jangan segan, Nak. Rumah ini masih boleh kamu anggap rumah sendiri."

Rembulan merasakan hatinya menghangat dan mencelos di waktu bersamaan.

Indera pendengaran kembali mendengar tangga berderit, menandakan wanita dihadapannya telah berbalik dan melanjutkan langkah meniti anak tangga. Pemandangan itu membut Rembulan terhenyak. Mengingat tujuan ia memberanikan diri berkunjung ke sini.

Iya, memang tujuannya ke sini adalah sebagai salam perpisahan pada si Masa Lalu. Ia sudah bertekad untuk berbalik dan melanjutkan langkah. Tetapi sebelumnya, ia harus kuat meniti tangga itu lagi. Yang setiap anak tangganya berderit ngilu sampai ke hati. Yang setiap langkahnya menuju pintu kamar bertuliskan "Arcturus" itu, ia seperti ditarik oleh memori.

Ketika melewati pintu kamar yang dicat warna ivory, Rembulan berbalik. "Lyra kuliah di mana, Ma?"

Mama Artur—panggilan akrab Arcturus—menepuk jidat. "Ya ampun! Sampe lupa mau ngasih tau kamu, Nak. Lyra sekarang—" Keduanya terhentak suara bel rumah. "Kayaknya teman mama, deh. Tadi emang bilang mau ke sini ngebalikin Tupperware. Nak Bulan gak apa-apa 'kan sendiri dulu?"

"Gak apa-apa, kok, Ma," jawab Rembulan.

Sedikit banyak wanita tua itu juga tau bahwa Rembulan butuh waktu berdua, ia dan kenangan-kenangan yang tersisa.

Sosok Mama Artur menghilang di belokan tangga, langkahnya terburu-buru sebab bel rumah sudah berbunyi untuk yang ketiga kali. Menyisakan Rembulan sendiri di lorong remang karena kamar Artur letaknya di pojok ruangan.

Mematung sejenak, ia akhirnya menggenggam kenop pintu. Mendorong pembatas antara lorong dan kamar, ia disambut temaram sinar berwarna warm white yang berasal dari lampu tumblr mirip punya Rembulan di kos-kosan. Padahal sudah siang, namun sepertinya sang ibu membiarkan kamarnya terus seperti ini. Sesak menyergap. Rasanya seperti Artur masih berbaring di atas tempat tidur dan susah dibangunkan karena pemuda itu pasti baru tidur setelah jam tiga. Hanya saja bantal dan selimut itu kini tertata rapi, sedikit berdebu. Jelas saja karena tidak ada lagi sosok Artur di sana.

Dinding di atas tempat tidur itu dihiasi jaring-jaring yang Artur desain sendiri pakai benang wol. Artur menyisipkan banyak sekali momen yang ia tangkap menggunakan kamera polaroid miliknya. Sebagian besar foto Rembulan dengan catatan kaki yang ditulis dengan spidol warna hitam.

08-08-17. Is it a date?

12-09-17. Finally, a real date.

01-02-2018. Moon smiling to the moon.

20-08-18. Thank u for being born.

Dan masih banyak lagi.

Di meja yang menghadap jendela, sebuah bingkai terpajang. Di dalam bingkai, terdapat sosok Artur tersenyum sembari memegang bunga. Rembulan terkekeh pelan. Ia ingat foto ini diambil olehnya. Bunga di tangan Artur itu ia petik dari kebun entah milik siapa—yang kemudian Rembulan sadari bunga itu dipetik dari taman ibunya sendiri.

Rembulan pernah mendengar bahwa foto dari orang yang sudah meninggal akan terkesan pudar dan kusam seakan cahaya dari wajahnya telah naik bersama ruh ke surga. Tatkala Rembulan menatap lamat-lamat foto di genggaman, ia paham. Mungkin hal itu benar atau mungkin juga ia tersugesti. Namun, melihat foto Artur sekarang setelah terakhir kali melihatnya langsung memang punya getaran yang berbeda.

Ia memilih duduk di kursi belajar. Tidak memedulikan stiker bertuliskan "Do not trespassing!" yang sengaja ditempel Artur di tengah-tengah meja—jangan tanya fungsinya apa. Menyandarkan tubuh di punggung kursi, ia membawa bingkai foto itu ke dekapan. Seakan dengan begitu, ia masih bisa merasakan detak jantung Artur. Seakan benda itu adalah mesin waktu yang dapat membawanya kembali ke masa lalu.

Orenda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang