II.

602 119 41
                                    

"Perbatasan?"

San kembali mengangguk, tangannya masih setia mengambang di udara, menanti sambutan. "Jika kau ingin selamat, maka keluarlah dari kota ini."

Yeosang tampak kebingungan dengan perkataan San. Ia tidak mengerti apa yang coba San sampaikan. San tersenyum maklum. Tangannya dengan mandiri meraih milik Yeosang, membawanya bangkit. "Akan kujelaskan di atas."

Maka begitu keduanya terduduk di pembatas gedung, San segera menceritakan seluruh cerita yang ia ketahui.

"Virus ini hanya tersebar di Neutron, kau mungkin tidak menyadarinya. Aku tinggal dekat perbatasan. Jauh sebelum ledakan, pembangunan janggal dilakukan di sana. Beton tinggi menutup akses ke luar. Hanya tedapat terowongan yang dijaga ketat oleh militer. Saat warga bertanya, mereka hanya bilang ini perintah dari Presiden. Dengan dalih akan dijadikan tempat wisata dan iming-iming kesuksesan kota, para warga percaya dan membiarkan pembangunan tetap berjalan selama tidak berdampak buruk bagi kota."

Kaki San mengayun di udara. Tanpa rasa takut ia melihat ke bawah di ketinggian lebih dari sepuluh meter. Para mayat hidup masih berkeliaran dengan bebas. Pemandangan tersebut tertangkap dengan jelas dari atas.

"Setiap aku keluar, beton itu langsung menyapa pandangan. Aku merasa terkurung. Semua makin terasa janggal saat Ayahku lebih banyak menghabiskan waktu di lab." San melirik ke arah Yeosang, mencari tahu reaksi dari pemuda tersebut. Kerutan samar menghiasi dahinya. "Ya, Ayahku salah satu dari peneliti dalam gudang yang menjadi sumber ledakan. Beberapa hari sebelum ledakan itu terjadi, Ayah mengirimku untuk pergi ke Luster. Beliau bilang, jangan pulang sampai akhir bulan. Awalnya aku tidak begitu peduli, Luster kota yang cukup bagus. Aku menikmati waktuku di sana."

San bangkit dari duduknya. Memilih untuk menyusuri jalan di atas pembatas. "Kau gila? Kau pikir punya nyawa berapa?" Yeosang bergidik ngeri saat bayangan San kehilangan keseimbangan dan berakhir terjun bebas mampir di benaknya.

San sama sekali tidak terusik dengan perkataan Yeosang. Ia dengan santainya terus berjalan, sesekali menoleh ke arah Yeosang dengan senyum jahil.

"Ayah bilang, aku ini kucing. Jadi sepertinya nyawaku ada 9," jawab San bercanda yang mendapat respon decakan sebal dari Yeosang.

"Turun dan lanjutkan ceritamu. Kau berjanji akan membawaku ke perbatasan. Jadi jangan mati dulu."

"Kejam." Meski begitu, San tetap menuruti perintah Yeosang. Kali ini ia memilih untuk mendudukkan diri seraya menyender pada pembatas. "Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di Luster, aku menemukan sebuah catatan yang terselip dalam ransel. Begitu membacanya, aku langsung kembali ke Neutron. Tepat sebelum ledakan," lanjutnya.

"Jangan bilang, ledakan itu sudah direncanakan?"

"Kau tahu isu Neutron yang ingin mendeklarasikan menjadi negara mandiri?" Yeosang menggeleng, tidak tahu-menahu tentang isu tersebut. "Kau tidak pernah melihat atau membaca berita politik, ya?"

Anggukan pelan Yeosang berikan sebagai jawaban. "Politics suck," jawabnya kemudian.

"Aku belajar politik, jadi sedikit banyak aku mengerti kenapa kota ini diledakkan. Sebagian besar ilmuan lahir di sini. Akan sulit untuk mempertahankan Neutron diam dalam genggaman tanpa perlawanan. Tetap menjadikan Neutron sebuah hak milik tanpa perlu peperangan adalah jalan terbaik. Jadi-"

"Jadi mereka memberikan ultimatum dengan meledakkan kota?" potong Yeosang.

San menekuk kakinya. Mengistirahatkan tangan di antara lutut. "Ini bukan sekedar ultimatum. Ini akhir dari Neutron dan para menghuninya. Suatu saat nanti, kota ini akan berubah jadi kota mati. Banyak opsi yang bisa dilakukan setelahnya. Pembangunan kembali atau menjadikan tempat wisata yang sesungguhnya, misal?"

Exile : Sansang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang