IV.

528 106 11
                                    

"Kau juga tidak mengerti bagaimana rasanya harus membunuh orang tua yang mengurusmu sedari kecil dengan tangan sendiri. Apa setelah ini aku juga harus membunuhmu? Hidupmu sia-sia, San."

Kepala San tertunduk, menyembunyikan tangis dari luka hati yang ia rasakan. "Pilihanku memang salah, tetapi ucapanmu juga tidak sepenuhnya benar."

Yeosang tidak mengindahkan jawaban San. Tubuhnya bergeser membuat jarak, memilih untuk menyandarkan diri di ujung ruangan. Deru napas saling bersahutan. Racauan tidak jelas dari zombie di luar sana juga masih terdengar. Entah sampai kapan mereka harus terperangkap di sini. Dan entah sampai kapan pula San bisa bertahan dari virus yang menggerogoti tubuhnya.

Deru napas San makin memberat. Ia bergerak tidak nyaman dalam duduknya. Yeosang melirik lewat ekor mata, tidak berniat mendekat. Rasa sesak itu kembali hadir melihat keadaan San yang semakin pucat. Peluh bercucuran di setiap jengkal kulitnya.

"Ayahku membutuhkan waktu sekitar dua belas jam untuk berubah, sebelum aku terlebih dahulu membunuhnya. Kau ... akan bertahan lebih dari itu, kan?"

San menyandarkan tubuhnya pada tembok. Kepalanya mendongak, giginya bergemeretak, menahan rasa sakit. "Aku tidak janji. Kalau kau lupa, aku digigit oleh Woo— maksudku, zombie yang telah berevolusi. Dia berlari dan mencium bau. Bayangkan, sudah sepintar apa zombie sekarang? Kau pikir aku bisa bertahan lebih lama? Kurasa tidak." Kepalanya menoleh, melihat keadaan Yeosang yang tampak kacau. "Ayo berpikir lebih logis. Virus dari gigitan hewan rabies membutuhkan empat minggu untuk merusak berbagai saraf. Sedang bisa ular mematikan dapat melumpuhkan manusia dalam hitungan menit. Jika zombie yang baru berevolusi saja sudah bisa membuat Ayahmu tumbang dalam kurun waktu dua belas jam, bagaimana denganku?" imbuhnya.

Kembali tidak ada jawaban dari Yeosang. Pemuda itu kini menunduk dengan bahu yang bergetar hebat.

Suara teriakan menyeramkan terdengar. San dan Yeosang langsung saling bertatapan dengan wajah penuh waspada. Lalu suara teriakan lain kini kembali terdengar bersahutan.

"Mereka berkomunikasi?" Keduanya melemparkan ucapan yang sama. "Oh, tidak. Ini semakin kacau." San mengacak rambutnya frustasi. Tatapannya beralih pada lengan kanannya yang terbalut balok kayu.

"Yeosang, kupikir ini tidak akan berhasil."

Mendengar itu membuat Yeosang menatap San marah. "Jika kau berpikir seperti itu, maka hidupmu benar sia-sia, Choi San." Yeosang mendekatkan diri. Tangannya ia bawa untuk membuat San menatap matanya. "Kau bilang, aku alasanmu bertahan hidup. Apa itu juga sebuah kebohongan?"

"Tidak." San menjawabnya dengan tegas. "Aku tidak berbohong tentang itu."

"Kalau begitu buktikan! Jangan menyerah dan bertahan bersamaku!" seru Yeosang dengan putus asa. Tangan yang semula bertengger manis di wajah San melorot, terkulai lemas di sisi tubuhnya. Sedang kepalanya tertunduk, bersandar di dada San. "Kumohon."

San tidak menjawab, sebelah tangannya naik bergerak mengusap punggung pemuda bersurai pirang di hadapannya.

"Aku akan mengantarkanmu sampai ke perbatasan." San membawa tubuh Yeosang agar duduk tegak. "Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini. Para zombie itu berkomunikasi, pasti mereka mengundang kawanan untuk ke sini."

Yeosang mengangguk setuju. "Aku ada ide." Tatapannya terfokus pada San yang tengah mengeluarkan idenya. "Melihat revolusi mereka, akan sulit untuk melawannya hanya dengan bermodalkan nekat. Kita punya akal, mereka tidak lebih pintar dari kita. Yeosang, kita harus punya umpan, cukup dengan satu zombie saja."

Dalam diam Yeosang menerka apa kira-kira ide yang San pikirkan dalam otaknya. "Umpan?"

San mengangguk. "Cukup satu zombie, lumpukan dia di sini, lalu kita bisa bernapas lega."

Exile : Sansang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang