Prolog

43 12 4
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Selamat datang di ceritaku, entah yang keberapa. Semoga kalian dapat menikmatinya, syukur-syukur bisa mengapresiasi cerita ini.

Selamat membaca🤗

°°°

Pukul 10.00 pada hari Minggu. Kutatap bangunan tinggi, namun tidak sebesar kediaman milik kedua orangtuaku, lalu berganti menatap kedua sejoli yang berstatus sebagai orangtuaku yang sedang berbincang dengan pemilik tempat ini.

Tak lama kemudian, mereka selesai berbincang, dan berjalan menghampiriku yang sejak tadi berdiri seperti peminta-minta di depan bangunan itu.

"Dek, masuk, yuk!"

Mama merangkulku berjalan memasuki bangunan tersebut mengikuti sang pemilik bangunan. Kami menaiki tangga, lalu berhenti di sebuah pintu kayu jati berwarna coklat tanpa papan nama di depannya.

"Nah, ini kamar kamu. Semoga betah, ya."

Wanita pemilik tempat ini tersenyum hangat kepada mama, papa, dan aku. Kami ikut tersenyum untuk membalasnya.

"Bolehkah kami melihat-lihat ke dalam?" tanya Mama. Wanita itu mengangguk. Kami bertiga pun masuk dan mengamati seluruh interior kamar ini. Tidak seluas kamarku di rumah, ada dua lemari dengan beda ukuran, ranjang berukuran sedang yang bisa menampung setidaknya dua orang, kipas angin, meja belajar, satu rak berisi beberapa buku yang tersusun rapi pada baris teratas—sementara pada baris lain kosong.

Aku berjalan membuka tirai, dan membuka jendela agar tidak terlalu pengap.

"Ehm ... kamar mandinya di mana, ya?"

Wanita itu menoleh ke arahku. "Oh ... mari Ibu hantar."

Mungkin ibu itu mengira bahwa aku sedang kebelet. Dia mengantarkan aku ke luar dari kamar, menuju sebuah pintu di ujung lantai dua ini.

"Ini kamar mandinya, cuma ada dua. Jadi, kalian harus bergantian." Aku mengangguk. Lalu, teringat bahwa di lantai bawah juga ada kamar-kamar.

"Bu, yang di lantai bawah juga akan mandi dan buang air di sini?" tanyaku penasaran.

"Enggak, setiap lantai ada dua kamar mandi. Jadi ya, kemungkinan satu kamar mandi buat dua orang." Aku mengangguk pelan, lalu masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya pelan.

Ada bak mandi, shower, gayung, dan kloset. Hm, sudah lebih dari cukup untuk membuatku betah di sini.

Tak lama kemudian, aku ke luar dari kamar mandi. Hanya ada Mama dan Papa di luar kamarku. Aku menghampiri mereka.

"Dek, Papa dan Mama pulang, ya? Semoga betah, semoga semakin mandiri," ujar Papa, lalu mengelus hijabku pelan, tidak sampai membuatnya berantakan.

"Jangan kecewain Mama, ya, Dek," pesan Mama. Aku hanya diam, tidak ingin membalas yang itu.

"Ya udah, assalamu'alaikum, Nihla." Aku mencium tangan kedua orangtuaku sebelum mereka pergi, mereka tersenyum singkat, lalu turun ke bawah.

Aku langsung masuk ke dalam kamar untuk menata barang-barangku. Mulai dari pakaian, buku, dan yang lainnya. Hingga tak terasa, adzan dhuhur berkumandang.

Ketika Rasa Memupuk Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang