Epilog

87 6 5
                                    

Cannes, Prancis.

Rupanya naskah yang ia buat bisa keluar sebagai juara dalam acara festival film super megah yang membayangkan saja ia tak berani. Bukankah itu sebuah keajaiban? Tidak tidak. Ia tak percaya keajaiban memilihnya.

"Ya, jelas aku bangga bisa berdiri di sini. Aku yakin tanpa hasil kerja keras teman teman ku dan para pemain film, kisah itu hanyalah tumpukan kertas belaka." Ucap Lilian saat diwawancara... dan... ditinggal sendirian... menjawab pertanyaan dari entah siapa ia sendiri tidak kenal... "Aku hanya berpikir pada kenyataan penjahat tidak selalu kalah pada akhir cerita. Itu asal dari mana kisah itu bermula."

"Terima kasih atas waktu mu."

Fiuh! Gugup sekali! Telapak tangannya saja sampai terasa dingin meski sudah mulai memasuki musim panas! Astagah... di mana kalian?!

Lilian menjauhi reporter tersebut cukup jauh lalu berdiri sambil menyilangkan tangan menyembunyikan tangannya yang mengepal kencang. Mengetukkan kaki berusaha menenangkan diri lalu matanya mengunci sosok wanita yang ia kenal. Bertubuh sama mungil tetapi ia lebih tinggi kisaran lima senti meter. Rambut hitamnya disanggul dengan sumpit bergaya oriental menyisakan poni rata menutupi alis. Berhidung mungil dan bibir penuhnya bersepuh merah pekat. Sama sipit... ralat, wanita itu tidak sipit meski jelas keturunan chinese. Dana Yang. Berdiri dalam balutan gaun cheongsam berwarna hitam. Dengan bagian bawah terbuat dari kain satin berkibar lembut setiap kali angin jahil menepi bermain dengan kain tersebut.

"Dana, itukah kau?" Sapa Lilian dalam bahasa Indonesia setelah menghampiri wanita itu. Lalu terbelalak mencermati perubahan drastis Dana. Wow... cantik sekali... tidak tidak, ia sudah punya Laura.

"Dan kau..." Menaikkan sebelah alis mencoba mengingat. "Lin Xiao Dan." Datar.

"Sekarang aku setuju bahwa dunia ini memang sempit."

"Meh, kebetulan saja teman ku memiliki akses kemari dan aku diseret. Apa yang kau lakukan di sini?" Tersenyum manis.

"Eee... itu... film..."

Dana mengangguk pelan seakan mengerti. Tetap tersenyum manis melihat Lilian memilin jemari. "Masih dengan kebiasaan mu. Well, selamat. Kau pantas menikmati hasil usaha mu."

"Ya!... ya!... terima kasih..." Oh... mengapa mendadak ia gugup lagi? Ia seharusnya bersikap santai bertemu teman lama. "Eee... sudah lama tidak bertemu jadi canggung."

Dana terkekeh kecil. "Ya... tentu saja. Apa lagi banyak perubahan yang terjadi diantara kita sejak keluar dari proyek dosen sialan itu. Kau ingat?"

Kegugupan Lilian teralihkan begitu isi kepalanya memutar bayang bayang saat ia masih menempuh gelar sarjana. Sungguh menyedihkan. Diiming imingi pameran dan didepak setelah uang diperah. Apa sebutannya? Naif.

"Sekarang kau bisa berbangga ria menyombonggan kemajuan mu."

"Apa kau sedang menghilangkan rasa gugup ku?" Lilian mendapat senyuman lebar membenarkan tebakannya. "Sayang aku tidak secanggih dirimu. Berubah sedemikian drastis, terakhir ku dengar kau menjadi penulis."

"Bukan karena perubahan. Tetapi karena uang. Jadi kaya tidak perlu sampai konglomerat. Orang orang yang menginjak mu akan patuh."

Mengernyitkan dahi Lilian. Dari mana wanita ini tahu dalam benaknya? Tetapi Lilian tak sempat bertanya karena Laura sudah datang bersama dua ajudan. Hellevi dan Martha.

"Yang lain sudah menunggu. Kau baik baik saja?" Laura menatap tajam Dana. Memercikkan benih benih perseteruan yang diabaikan oleh lawannya. Lalu menoleh begitu suara hentakan sepatu berhak berbunyi nyaring.

"Disini kau rupanya. Aku mencari mu kemana mana." Sambil mengamit lengan kanan Dana tanda kepemilikan yang di tampik pelan setelah diremas.

"Kau tahu kesalahan mu Cathy."

"Masih dengan buta arah mu."

"Begitulah." Dana tertawa kering membalas Lilian. "Mari masuk ke dalam."

Tetapi baru satu kali mereka melangkah seorang pria ngondek berseru sambil berjalan merapatkan jarak. Mengeruk ingatan Lilian sekali lagi mencoba mengenali pria berambut pirang tersebut. Lalu membatu saat Dana menyapa dengan kalimat sarkas namun tetap tersenyum manis. Wow, ia harus belajar berani seperti wanita itu.

"Aturan aku memanggil Cathy saja ketimbang diri mu... eh!... Lilian kan? Sedang apa disini?" Mendadak antusias.

"Bahasa Inggris tolong, disini banyak bule."

Mitchel mengulangi dengan bahasa yang diminta. Dijawab oleh Lilian malu malu lalu pria itu menatap merendahkan.

"Ada perbedaan antara melambung dengan usaha sendiri dengan melambung karena tampang dan anak menjadi emas."

"Hmph! Setiap kali kita bertemu lidah mu itu semakin tajam sepertinya."

"Terima kasih atas pujian mu." Dana menyunggingkan sebelah bibirnya. Berjalan melewati Mitchel diiringi Cathy yang tersenyum saja menahan geli.

Serius? Tidak masalah-kah membanting harga diri pria seperti itu? Terlebih pria itu murid emas! Mulut Lilian menganga lebar tak habis pikir.

"Itu teman mu dari mana?" Bisik Laura saat mendapat kursi. Menunggu film diputar satu demi satu dan lampu masih terang menerang belum dipadamkan.

"Teman kuliah dulu." Lilian melirik ke arah Dana. Mendapati wanita itu tertidur dengan posisi kaki dan tangan menyilang dan kepala menunduk. Lalu dibangunkan oleh teman dengan imbuhan wanita di depan untuk menyandarkan kepala kepundaknya. Dan Dana mendapat kecupan ringan di dahi setelah menurut. "Sekarang kau tidak lagi perlu cemburu."

"Nikmati saja festivalnya." Wajah Laura merona padam. Menggenggam sebelah tangan Lilian lalu tersenyum kecil.

"Hari itu hari terlama aku menggenggam tangan Lilian. Berdebar sekian lama mungkin yang terlama setelah Hellevi mengabari film kami keluar sebagai pemenang. Lalu setelahnya, kehidupan ku bersama Lilian dimulai kembali. Dan aku mulai sadar ternyata banyak sekali perbedaan. Tidak hanya budaya tetapi juga karakter. Lilian mungkin terlihat cuek, tetapi ternyata juga memiliki tempramen jelek sama seperti ku. Jadi... kalian tahu sendiri... kami sering bertengkar karena masalah sepele. Dan terima kasih pada diri ku. Aku berhasil melewati semua rintangan itu. Membangun keluarga harmonis... tidak harmonis juga... terkadang masih sering bertengkar... ngomong ngomong! Lihat tangan ku. Akhirnya Lilian setuju menikah dengan ku."

Suara daun pintu dibuka terdengar nyaring. Laura menoleh ke arah suara tersebut tersenyum nakal mendapati Lilian sudah kembali, sedang mengambil segelas air untuk dirinya sendiri.

"Oh! Ia sudah kembali!" Ucapnya pada kamera. Menepuk sofa di sampingnya sambil menggeser bokong. Dan Lilian menurut tersenyum pada kamera lalu menatap Laura mengisyaratkan pertanyaan apa yang sedang kau bahas? Tetapi Laura tidak menjawab begitu saja. Mengangkat tangan Lilian yang tersemat cincin yang sama di jari manis ke depan kamera.

"Jadi apa yang kau ceritakan pada mereka?"

Laura menurunkan tangan Lilian. Meremas sambil menyeringai berbinar binar. "Tentang Finlandia... dan cinta."

Sejenak Lilian memasang air wajah absurd, lalu melepas ranselnya dan ditaruh di atas pangkuannya. Membuka pouch mungil paling depan mengambil botol yang terkenal dengan selogan pengganti ion tubuh. "Untuk mu." Sambil menyodorkan botol.

Botol itu diterima dengan baik oleh Laura. Namun saat ia selesai menenggak satu tegukan besar dan menutupnya, Lilian mengambil botol tersebut, meneguk ditempat bibir Laura menempel.

"Kau bilang untuk ku." Menahan tawa.

"Aku tidak boleh mencicipi?"

Dan tawa Laura akhirnya meledak juga saat bibir Lilian mengembang lebar. "Mengapa tidak katakan saja kau ingin kecupan hangat?"

"Aku terlihat menginginkan kecupan hangat mu?"

"Ingat saat ku katakan kau penjahat favorit ku?" Yang ditanya mengangguk. "Masih sama sampai sekarang." Spontan Laura mencondongkan tubuhnya hendak mendaratkan kecupan. Membuat tubuh Lilian mengkerut sampai ke wajah. Dan ia tertawa lepas.

"Kau mengejutkan ku!"

Kali ini Laura menangkup sebelah wajah Lilian. Membawa bibirnya mendarat di wajah wanita itu. Dalam dan manis. Lalu kembali menatap kamera. "Ia masih pemalu seperti biasa. Kalian tidak akan melihat ku mengecup bibirnya."

fin

Find Love in Land [Mature]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang