(01) The Sorcerers

28 6 2
                                    

Hentakan beberapa kaki itu membuat seluruh siswa tak dapat melepas pandang memanjakan mata. Sebuah pemandangan yang sangat indah ditemani terpaan dingin yang menembus kulit di pagi hari. Sebuah hal yang memacu adrenalin untuk memulai hari. Juga, sebuah petaka.

Langkah kaki anggun bak bangsawan itu melanjutkan beberapa hentakan lembut menyapa pintu masuk kelas XI-2. Tatapan para siswa tetap terkunci pada wajah indah sang bidadari kelas mereka. Hingga suara serak menyeramkan dari guru sejarah seakan menyelipkan keburuk-rupaan, "Empat serangkai, berdiri di belakang kelas sampai bel pertama!"

"Sekolah kok sukanya telat," sambung guru sejarah sembari mengambil buku, merapikan kacamata, kemudian melanjutkan goresan spidol di depan kelas.

Dari semua warga kelas XI-2 ada satu siswa dengan buku catatan kosong yang tak ada habisnya menyimak keberadaan sang bidadari, "Wah ... bukan main cantiknya, semakin dilihat semakin menawan."

"Wah! Terimakasih atas pujiannya," sahut siswi berkuncir kuda tepat di belakangnya.

Siswa itu lalu meringis, "dih! Bukan kamu, ya ... ".

"Lihat papan tulis sana! Nganggu banget, tahu," balas siswi itu dengan raut wajah mengerut.

Sudah 30 menit berlalu dan bel pertama telah berbunyi, saatnya geng terlambat itu menduduki tahta masing-masing. Sementara para siswa memanggil mereka 'bidadari', para siswi menyebut mereka 'The Sorcerers' yang dalam bahasa indonesia berarti 'penyihir'.

Guru sejarah masih asyik dengan pergerakan nasional di masa pendudukan jepang ketika ibu wali kelas berdiri, berdehem di seberang. Karena guru sejarah sangat peka, ia pun menutup pita suaranya dan berjalan menghampiri, "Iya, bu?".

"Ada murid baru. Kata Bu An suruh ikut kelas saya biar seimbang," jawab wali kelas sementara guru sejarah mengangguk-angguk dan kembali menuntun kaki ke depan kelas dengan siswi baru mengekor.

Suasana kelas seketika menjadi sunyi senyap, berfokus pada satu titik.

"Hai aku Elli," tanpa basa-basi, sangat singkat dan praktis untuk sebuah perkenalan. Namun cukup kuat untuk melelehkan para siswa lelaki di dalam kelas. Anggota geng penyihir sedikit terusik akan hal itu, tetapi biarlah itu berlalu dahulu.

Dengan berbunyinya bel kedua, berakhir sudah dongeng politik dan perang dari masa lalu. Para siswi berkumpulan di sekitar Elli, menyuguhinya berbagai macam tanda tanya yang nampaknya tidak perlu ia akhiri dengan titik. Akan tetapi Elli tetap melakukannya.

Mata pelajaran kedua dimulai. Namun seseorang yang tidak mereka tunggu malah datang. Beberapa siswa saling menoleh dan berbincang bisu seolah berkata 'gimana sih, katanya jam kosong? mana belum ngerjain pe-er, nih', dan dibalas dengan tatapan 'mana kutahu'.

Siswi kuncir kuda tergeleng-geleng dan tertawa dalam hati, lalu beralih ke bangku sampingnya. "Hai, aku Desi. Habis ini ke kantin bareng yuk," ia pun mengulurkan tangannya sembari mengangkat sudut bibirnya ramah.

Harumnya bebauan lezat dan riuh canda tawa beterbangan menyentuh kedua indra begitu Elli dan siswi kuncir kuda sampai di kantin. Akan tetapi tiba-tiba langkah Elli terhenti. Kedua maniknya membulat. Detakan jantungnya merapat. Retina Elli menangkap bayangan sosok dingin bersiluet hitam yang serasa menatap tajam meskipun wajahnya sama sekali tidak terlihat. Ia tersentak, terjatuh, laksana suara bisikan menusuk dan menggema.

"El? Nggak papa?" tanya siswi kuncir kuda.

Tanpa menghiraukan suara apapun Elli bergegas lari menjauhi kantin. Namun, langkahnya terhalang suatu tembok tinggi. Hingga suara guyuran air yang melambai terdengar.

"Duh, hei! Gimana sih kalau jalan tu ... " celoteh Ashalina, bidadari kelas XI-2 yang berjalan bersama tiga bidadari lain, Pram dan si kembar Gea dan Zea.

Kejengkelan Ashalina semakin memuncak tatkala Elli acuh tak acuh, "Itu siswi baru tadi, bukan?". Ia mengangguk mantap selagi Pram, Gea, dan Zea mengiyakan.

"Dari awal pun aku sudah bisa meraba-raba bahwa anak itu bakal meresahkan sekali," sahut Zea.

Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa, para siswa segera menarik langkah cepat dengan hati berseri. Iya, hati yang berseri, kecuali Ashalina.

Dengan formasi geng seperti biasanya, Ashalina memimpin di depan dan mendekati Elli yang tengah berkemas pelan. Seakan sadar akan kehadiran empat serangkai, Elli segera membuka suara. "Oh, iya. Hai, aku Elli. Salam kenal," ucapnya sembari tersenyum dan menampakkan telapak tangan terbuka sejajar kepala.

"Oh, karena kamu udah kenalan. Sekarang kita yang kenalan dong, pastinya. Aku Ashalina. Ini Ghea dan Zea, dan juga ... " Ashalina kemudian melirikkan kedua maniknya menuju Pram.

Pram tersenyum menyambut perkenalan Elli. Diulurkannya tangan kanan seraya berkata, " ... dan aku Pram."

Bak memancing ikan bersama paman di danau, Pram menarik lengannya kuat begitu umpan telah tersangkut. Terdengar gedebuk bersamaan dengan itu, Elli tersungkur lemah.

Uliг Мегаh [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang