"Abang nggak capek bersikap sebatu ini pada kita? Bang, kita ini keluarga jika Abang lupa." Yoga menyandarkan punggung pada tembok dengan tangan terlipat di dada. Ekspresinya datar, dan Jerome perlu memejangkan mata untuk menahan diri agar tidak meledak melihat itu. "Dalam segala hal Abang pintar. Dalam segala bidang abang hebat. Lalu kenapa dengan urusan hati abang bodoh? Kenapa Abang terus terusan menyakiti Mama?!" "Bang!" "Jangan berteriak padaku!" Yoga menyentak tak kalah keras. Bola mata serupa itu saling memandang sengit, namun ketajamannya jelas Yoga lebih unggul. "Apalagi mengataiku bodoh jika kamu tidak lebih pintar dariku!" "Setidaknya aku tidak pernah menyakiti orangtuaku. Percuma unggul dalam segala hal jika etika terhadap orang yang lebih tua tidak punya. Sampai kapan abang akan bersikap sedingin ini? Sampai salah satu diantara kami ada yang mati? Iya?" Yoga terkekeh, bukan karena geli. Kekehan itu lebih kepada menutupi luka, dan seberapa besar keinginannya untuk menghajar Jerome membabi buta. "Lo nanya sampai kapan 'kan?" Yoga menggeleng, lantas mundur perlahan. "Sampai gue berhasil menemukan secuil aja kenangan manis bersama mereka di otak gue. Secuil saja, Rom. Dan satu lagi," Yoga mengangkat jari telunjuknya ke udara. "Gue tumbuh besar dalam didikan kakek. Jika lo diajari etika oleh mereka, maka gue cuma diajari gimana caranya unggul dalam segala hal. Tanpa hati, tanpa terkecuali."
4 parts