Impian menjadi pemutus cinta paling sadis. Hanya gara-gara impian itu, Ana kehilangan cinta pertamanya. Panji seorang pemuda yang dicintainya, rela melepaskannya begitu saja. Tanpa kata dan tanpa kabar. Meski setiap senja gadis itu menunggu, tak seuntai salam pun Ana dapatkan. Kesetiaannya benar-benar dipertaruhkan. Ana mencoba bersabar. Ia ingin segera merampungkan hapalannya dan menemui Panji kembali. Namun tanpa komunikasi, gadis berbadan mungil itu ragu bisa bertahan. Terlebih rasa jenuh berada di pesantren semakin membuat ia haus akan rasa kasih sayang. Dan saat itulah, seorang gus bernama Fikri datang dalam kehidupannya. Kehampaan akan cinta, membuat Ana mulai nyaman dengannya. Gejolak hasrat tentang kepastian membuat Ana bimbang. Ia sadar bahwa Panji pasti mempunyai alasan kenapa ia tak pernah menelpon. Tapi apakah alasan itu cukup? Apakah alasan itu mampu menutup semua rasa sakit yang Ana rasakan? Cinta Ana kepada Panji berbanding lurus dengan kebenciannya kepada pemuda itu. Kendati demikian, Ana tak mampu menjawab jika harus memilih antara Gus Fikri ataupun Panji. Kini hanya tersedia satu jawaban. Ajaran arif Jawa beruapa kakawin, akan menjadi satu-satunya kunci kehidupan Ana. Dengan konsep cipta dalam kakawin Arjunawiwaha, Ana akan menuntaskan kisah cintanya. Kisah pilu dari negeri pesantren ini harus benar-benar berakhir