Day 3 (bagian 1)

2 2 0
                                    

Fajar baru menyingsing, menebarkan kehangatan, aku meraung sejadi-jadinya. Kakak tersentak begitu mendapatiku terkapar di lantai, menjerit-jerit seperti orang hilang akal. Siapa yang tidak akan teriak ketika pagi-pagi buta disapa nyeri luar biasa?

Walaupun samar, aku ingat semalam aku berjalan-jalan lagi. Namun, kali ini kerumunan orang-orang itu benar-benar ada. Aku sudah berharap lebih, nyatanya mereka hanya menonton dan tertawa sambil bertepuk tangan seakan aku adalah hewan sirkus.

Kali ini pun aku mendapat sekelebat ingatan aneh, seakan tersambung dari kepingan ingatan kemarin. Aku menggandeng tangan bocah itu, kami begitu akrab. Dia memanggilku "Kakak" dengan begitu manis.

Aku meradang, memandang nanar tungkaiku. Semua seakan sudah direncanakan dengan apik.

"Fior, maaf."

Kenapa memohon ampun begitu? Kenapa Kakak meminta maaf? Padahal jelas sekali dia tidak akan kumaafkan. Semalam yang membuka pintu itu Kakak. Kenapa sekarang memelas seperti orang lain saja?

Kalau sedekat ini, pasti nyaman, kan?

Sial, wajah menyedihkannya itu terbayang dalam benakku. Kalau begini, rasanya aku tidak tega untuk marah padanya. Aku memang tidak paham apa maksud tangisannya itu, tapi relung hatiku seperti ditumbuk-tumbuk.

"Iya."

Mulut sial.

Di sisi positif, ada kemungkinan itu bukan Kakak. Sosok di hadapanku ini berbanding terbalik dengan yang semalam. Manik menyala dalam kegelapan dan menusuk itu tak mungkin mampu dilayangkan dari orang yang rela melakukan apa saja kala diriku susah.

Iya, Kakak pasti semalam kerasukan sesuatu. Aku meyakininya.

***

"Untuk seharian ini jangan ke mana-mana, di kamar aja," tegas Kakak sebelum menutup pintu.

"Iya," sahutku lirih.

Seharian ini sepertinya akan membosankan. Ya, itu yang terbaik. Dengan kondisi kaki yang begitu mengerikan ini memangnya mau ke mana? Sebenarnya ada banyak yang ingin kucari tau, tapi dengan kaki cacat begini ... memang bisa apa?

Nanti malam pun, katanya Kakak akan benar-benar mengunci pintu. Sia-sia saja. Kakak pasti akan membukakannya. Jika aku yang menguncinya, mau taruh di mana? Aku pasti tau di mana benda itu dan otomatis membukanya sendiri.

Tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan diriku sendiri.

Air mata meloloskan diri. Aku takut. Sakitnya tidak tertahankan.

Tidak mau wajah menyedihkan ini dipamerkan ke udara kosong, lantas aku menutup wajahku.

Sekarang semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengitari kepalaku, terutama dengan Kakak. Kenapa Kakak melakukannya? Apakah dia memiliki kondisi yang sama denganku?

Apakah fenomena ini yang disebut sleepwalking? Tidak, ini seharusnya bukan sleepwalking karena aku berjalan dalam keadaan seratus persen sadar. Kalau Kakak ... aku tidak tau.

Padahal aku adiknya dan kami seharusnya begitu dekat dalam ingatan yang tersisa, lalu kenapa aku merasa tidak mengenalnya dengan baik? Bahkan aku tidak mengerti maksud dari tangisannya semalam? Tidak, bahkan rasanya ... kami seperti baru kenal. Di saat bersamaan aku merasa akrab dengannya. Ah, memusingkan.

Lagi pula, kenapa orang-orang menertawaiku? Apa yang lucu? Apa itu hanya halusinasi? Sama seperti wanita aneh yang menggantung itu? Benarkah begitu? Bagaimana jika ternyata semua itu kenyataan?

Ah, mikir apa aku ini, mana mungkin ada yang seperti itu. Jika bukan halusinasi, pasti hantu. Aku terkekeh memikirkannya. Konyol memang jika percaya pada hal mistis seperti itu. Mau bagaimana lagi kan? Yang bisa seperti itu hanya hantu atau ulah otak yang rusak. Pasti salah satunya.

Empat BelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang