"Bagaimana sampai sini?"
Pintu berderit, menganga lebar untuk menampakkan isinya.
Kakak tersenyum, mempersembahkan isi ruangan yang itu. Tidak ada yang bisa spesial, tidak ada yang kuingat selama pandangan menyapu.
Aku meluruskan pandang, menyelami dua permata hitam Kakak.
"Tidak ingat," ujarku lesu sembari menggeleng.
Aroma asing menerobos indra penciumanku. Tiap kamar memiliki aroma khas tersendiri. Sebagai pemilik, seharusnya aku sadar.
Jalur asing dalam rumah yang seharusnya sangat kukenal dengan baik ini. Pemandangan yang tak pernah kulihat. Kejanggalan tak mengenakkan ini menyelimuti hatiku, selaras dengan debaran jantung selama berusaha mencapai pintu kamarku sendiri.
Semuanya asing. Rumah ini. Apartemen ini. Semuanya asing.
Seharusnya kelegaan dan rasa nyaman yang memeluk diriku, tapi yang bisa kurasakan hanyalah kehampaan. Seolah aku menumpang di kamar orang lain.
Ruangan kecil yang biasa-biasa saja, seperti kamar milik anak cowok pada umumnya. Kasur berwarna biru tanpa motif apa-apa terpasang di pojok ruangan. Tumpukan kardus tak terurus dipaksakan masuk memakan banyak ruang.
Meja belajar dilengkapi buku-buku ilmiah berderet rapi. Semuanya sangat sains, teori relativitas, teori evolusi, ilmu sosial, dan lainnya. Apa benar aku membaca buku-buku semacam itu? Kendati demikian, buku-buku itu erat denganku. Entah mengapa.
Karpet biru tua di samping ranjang membuatku ingin mencoba menginjakkan kaki di sana. Tirai biru tersingkap-singkap seiring datangnya angin sepoi-sepoi dari luar sana.
Terakhir, lantai berkayu dan dinding biru. Warna dindingnya tidak asing.
Sekali lagi aku mencoba melirik Kakak. Dia tersenyum hangat padaku.
Untuk informasi, beberapa hari lalu, saat usiaku baru 3 hari menginjak umur 14, aku mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku tidak ingat bagaimana persisnya, katanya aku tertabrak mobil. Lalu setelah itu aku kehilangan sebagian ingatanku dan menderita patah tulang parah di kaki kanan. Aneh saja jika Kakak masih kuingat sedangkan rumah dan anggita keluarga lainnya tidak.
“Mau dibantu?” Kakak laki-lakiku itu menawarkan bantuan. Dia lembut, seperti anak perempuan. Rasanya aneh, tapi sangat ... akrab.
“Gak usah,” tolakku pelan. Dengan hati-hati, aku berjalan menuju kasurku menggunakan penyangga kaki.
“Kalau gitu se— ah, Kakak ke dapur dulu ya. Selamat mencoba mengingat.”
Pintu ditutup, setengah terbanting. Kunci yang tergantung bergoyang ke kanan dan kiri.
Hanya ada aku, di tengah sorotan sang mentari yang membakar cakrawala. Hari sudah sore rupanya. Sebentar lagi bulan akan datang menggantikan sang baskara.
Aku mengembus napas pelan. Dengan gerakan canggung, aku duduk di pinggir ranjang.
Seprainya halus. Ini kamarku kan? Tidak masalah kan kalau aku merebahkan tubuh?
Nyaman. Kakak pasti membersihkannya selama aku dirawat inap.
Saat menilik tumpukan kardus pun, semuanya rapi tanpa debu sepeser pun. Hebat.
Kakak memang telaten dan mandiri, tidak seperti Mama. Tunggu, memangnya Mama kenapa? Kenapa aku membencinya?
Ah? Kenapa aku menangis? Aneh.
Wajahnya saja tak pernah terbersit. Apa dia menelantarkan aku dan Kakak? Tapi tadi ada sepatu hak tinggi kok. Mama pasti ada di tempat ini. Yang jelas, pasti dia jahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Belas
HorrorAku berjalan di tengah malam ... dengan kaki yang patah. ... Fior, cowok 14 tahun itu tertimpa nasib tak mengenakkan. Setelah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang berakibat hilangnya sebagian ingatan beserta patah tulang di beberapa bagian...