Day 3 (bagian 2)

2 2 0
                                    

Seharian ini aku tidak ke mana-mana. Seharian ini juga aku hanya bengong menatap langit-langit, di tempat bernama kamarku ini.

Aku membuang napas kasar. Bosan. Sudah berapa lama aku begini? Bengong, berpikir, dan melamun. Rasanya seperti sudah puluhan jam, namun nyatanya matahari masih menjunjung tinggi.

Aku melirik ke arah deretan buku di meja belajar— posisinya tepat berada di sebelahku. Jaraknya hanya dipisahkan oleh karpet, jadi dekat, aku tak perlu berusaha terlalu keras untuk berjalan sampai sana.

Baiklah, jika ini benar kamarku, seharusnya buku-buku ini pernah kubaca dan mungkin saja keajaiban datang.

Aku membaca secara saksama satu per satu judul buku.

Aku mengernyit. Teori Evolusi? Teori Relativitas Einstein? Psikologi Komunikasi? Pasti aku membelinya karena perlu, bukan karena ingin. Memang aku serajin ini ya?

Umurku 14 tahun, seharusnya aku masih SMP. Memang di jenjang SMP sudah serumit ini? Tidak salah lagi, aku dulu membelinya karena ingin.

Baiklah, aku akan mencoba membaca salah satunya. Asal saja. Jika beruntung, aku dapat petunjuk.

Satu halaman. Dua halaman. Tiga halaman. Seterusnya, sampai 2 jam berlalu tanpa kusadari.

Lumayan. Tidak membosankan seperti yang kukira. Ilmu psikologi ternyata bisa semenarik ini.

Entah udaranya terlalu enak atau mataku lelah, lama-lama aku mengantuk. Jam dinding menunjuk pukul 3.

Pintu dikunci dari luar, tidak apa-apa jika aku tidur, kan? Kakak juga pasti masih terjaga. Tidur sebentar saja pasti bisa, kan? Semoga saja aku tidak berjalan setelah menutup mata.

Apa tidak masalah? Bahkan aku tidak tau pasti penyebab jalan siksaan ini. Karena malam atau tidur, di antara itu.

Mungkin ini bisa dijadikan sebagai taruhan.

Sejujurnya aku takut. Hanya saja ini sulit. Ya, hancurkan sekali lagi saja. Sekali.

***

"Dennis! Jangan jauh-jauh."

Aku meraih tangan anak kecil itu. Ia berlarian di pinggir trotoar yang jelas-jelas berbahaya. Aku mengeratkan genggamanku. Banyak kendaraan berlalu-lalang, bisa-bisa dia berakhir seperti Kakak.

"Kakak, tadi di sekolah ada tugas buat drama loh." Dennis membuka percakapan selagi kami menunggu lampu hijau zebra cross.

"Lalu? Dennis buat dramanya sampai disuka guru?" tebakku dengan lembut dan sedikit menundukkan kepala.

"Iya! Tapi itu bukan intinya." Dennis melompat kegirangan seraya melambaikan tangan ke udara.

"Lalu apa?"

"Aku suka main drama! Seru!" serunya antusias.

Dennis sudah menemukan apa yang disukanya. Aku turut senang, dia bisa bertahan di dalam lingkaran seperti ini.

Kami akan bertahan. Pasti.

Makanya ... Dennis tolong jangan pergi.

***

"DENNIS!" pekikku.

Aku terbangun? Aku baru saja tertidur ya? Dan lagi, aku bisa leluasa menggerakkan tubuhku. Tidak ada suatu paksaan untuk berjalan tak menentu.

Aku meneleng, lalu mendongak. Leherku bebas, tidak kaku. Kakiku ... ah jangan ditanya, sedang sakit.

Ini pukul ... 8 malam?

Perlahan sudut bibirku naik, tersenyum getir, lalu tertawa menggelegar.

Aku sudah tau jawabannya. Ini karena malam.

Berarti malam ini aku harus mengikat tanganku atau bahkan seluruh tubuh. Pintu akan kukunci. Sempurna!

Ah, ini ... kamar siapa? Bukuku ada di sini, loh kok?

Pintu terketuk— dari luar.

"Kakak!"

Seruan itu suara yang sama dengan bocah dalam mimpiku.

Dennis!

Senyumku merekah.

Tunggu, aku kan tidak punya adik. Aku anak bungsu dari 2 bersaudara.

"Kakak! Jangan mati!" Suara semringah itu berganti sendu.

Huh? Mati? Aku masih hidup kok.

Kurasa aku harus membukakan pintunya.

Ketika berusaha berdiri dengan bantuan penyangga kaki, aura berat menyelimutiku, diiringi gedoran pintu tak berirama.

Semakin jarak terkikis, suara gedorannya semakin melambat dan keras.

Ini bodoh, benar-benar bodoh. Aku masih penasaran, tetap ingin membuka meski jantungku sudah memberi peringatan keras bertalu-talu.

Akhirnya, aku benar-benar sudah berdiri di depannya. Tinggal memutarnya. Aku agak sangsi. Namun kuterobos saja, aku menggenggam knop pintu dengan gerakan cepat.

Sial.

Pintunya tidak bisa dibuka. Oh iya, Kakak memegang kuncinya.

Pintu tiba-tiba membuka dengan sendirinya. Di depanku tidak ada bocah. Hanya ada kakakku yang kepalanya berdarah dan memandang nanar. Di belakangnya ada banyak darah berceceran.

"Kakak kenapa?!" Raut kekhawatiranku anehnya menimbulkan senyuman samar di wajah Kakak.

"Tadi kamu manggil Kakak teriak-teriak sampai bilang jangan mati. Makanya Kakak buru-buru ke sini."

"Kak, tadi bukan suaraku kayaknya."

"Eh? Tapi di rumah ini cuman ada kita. Lagian itu jelas suaramu kok."

"Ah, begitu ya."

"Iya. Jadi ada apa?"

Aku menggeleng seraya mengernyit.

"Oh, mimpi buruk ya? Ya sudah, Kakak ke kamar ya," pamitnya.

"Tunggu."

"Ya?"

"Ini kamar siapa?"

Bersambung ....

Empat BelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang