Pagi akhirnya datang. Sejak pukul 4 pagi aku hanya berkutat pada buku-buku ilmiah ini, barangkali ingatanku kembali dadakan.
Aku membuka tali yang mengikatku dari pukul 10 sampai pukul 4 pagi. Membosankan? Tentu saja. Untungnya ada laptop dan wifi. Selama 6 jam aku menonton playlist berdurasi 6 jam. Untuk berjaga, aku mengecasnya agar tidak habis baterai.
Mengikat diri sendiri itu konyol. Kendatipun tanganku biasanya bebas, bukan berarti tidak menutup kemungkinan diambil alih.
Untungnya, aku tidak berjalan-jalan tidak jelas. Sepanjang malam di bawah sangat ramai. Ketika aku membuka tali, sorak sorainya semakin jelas seakan aku adalah bahan tontonan menarik.
Ada yang tidak beres dengan tempat ini. Aku harus pergi. Lalu bagaimana dengan Kakak? Aku tidak bisa membiarkannya sendirian.
Memang kejam jika aku berpikir begini, kurasa ... Kakak pun tidak bisa dipercaya. Setelah kupikirkan belasan kali, Kakak sepertinya benar-benar sadar. Memang jahat jika berpikir begini hanya karena dia melempariku tatapan yang sama seperti malam itu. Sudah begitu mematahkan semua pemikiran positif itu.
Namun di film-film horor, tokoh utama yang terlalu positif selalu mendatangkan mara bahaya.
Ada beberapa hal juga yang mendukung, setidaknya. Kakak sangat peduli padaku. Aku tidak tau apakah itu hanya akting belaka atau bagaimana. Yang jelas, ada celah. Dia seakan menganggap aku hanya mengarang tiap kali menceritakan bagaimana aku berjalan-jalan di tengah malam. Atau terkadang memelukku, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tidak kuketahui seperti apa.
Bisa saja dia terkikik diam-diam.
Kejam, memang kejam berpikir begini. Mau bagaimana lagi? Tidak ada jaminan.
Memang terlambat, aku ... tidak ingin percaya kepada Kakak. Tidak. Siapa pun. Aku tidak bisa percaya apa pun yang ada di tempat ini.
Beberapa hari mendatang aku berencana minggat, diam-diam. Aku akan tinggal di mana pun. Aku memang tidak begitu ingat, tapi dulu aku memiliki teman yang tinggal di daerah sebelah.
Lalu untuk melewati orang-orang itu, aku akan mencoba pergi di siang hari— mereka bisa saja berbahaya. Saat siang Kakak selalu di kamarnya, kecuali saat mengurusku dan ... mungkin Mama.
Sudah jam 12 siang. Kedua sudut bibirki tertarik. Sekarang aku sudah bisa tidur. Usahaku tetap terjaga sampai mata perih membuahkan hasil setimpal.
Besok aku akan pergi dari sini. Maaf ya, Kakak, ini yang terbaik. Aku tidak bisa lagi menaruh harapan pada apa pun di tempat ini.
Kertas bertuliskan, "Ini kamarku, Fior Grie." sudah.
Pintu sudah dikunci.
Bagus, persiapan tidur yang apik.
***
"FIOR!"
Raungan Kakak memekakkan telingaku. Pagi-pagi begini godzilla itu sudah ganas saja.
"Hm?" sahutku menghampirinya yang mencariku bak singa lapar.
"SINI LO! Adek kurang ajar!" hardiknya tak menggetarkanku sama sekali.
"Kenapa Kak?" Aku berusaha lembut padanya. Ada Papa, harus menjaga citra baikku.
Dia tidak seperti Mama. Kalau kami ribut dia hanya tertawa-tawa dan baru menengahi saat manusia sinting ini mulai melakukan kekerasan fisik.
"Ini apaan?!" Kakak mengangkat poninya lalu memamerkan bengkak di dahinya.
"Kakak kenapa?" jawabku sok cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Belas
HorrorAku berjalan di tengah malam ... dengan kaki yang patah. ... Fior, cowok 14 tahun itu tertimpa nasib tak mengenakkan. Setelah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang berakibat hilangnya sebagian ingatan beserta patah tulang di beberapa bagian...