Day 2

5 1 0
                                    

Daging-daging yang sudah dipotong kecil mengambang dalam kuah kaldu bersama sayuran lain. Aku mengaduk-aduk tidak selera. Seharusnya aku berterima kasih pada Kakak karena sudah berusaha membuatkan makanan kesukaanku.

Kebanyakan anak kecil membenci sayur mayur. Aku tidak. Aku menyukainya— terutama sup daging. Aku mungkin berkebalikan dengan Kakak. Kakak tidak suka sayur, meski begitu ia berusaha membuat dan memakannya bersamaku. Makan bersama itu menyenangkan, katanya.

Sudah beberapa waktu setelah aku bangun tidur. Perban di kakiku sudah dibalut lebih rapi dan di sini aku sekarang, duduk memandangi mangkuk penuh sup.

Sedari tadi aku tidak mendengar suara piring beradu. Usut punya usut Kakak menungguku makan. Dia menatapku, menunggu aku menyuapkan barang kali sesendok nasi.

“Fior, enak gak?” tanya Kakak memandangku penuh harap.

“Enak.”

Aku tidak bohong. Wajahku memang terkadang sulit untuk mengekspresikan emosiku. Untungnya Kakak hanya tersenyum hangat menanggapinya.

“Bagus deh. Walaupun gak seenak buatan Mama, habisin ya.”

Mama?

“Memangnya ... Mama di mana?” Suasana mendadak berat. “Kakak bilang makan ramai-ramai lebih seru kan. Kenapa Mama gak diajak?” lanjutku tanpa peduli dengan suasana yang hancur.

“Mama lagi sakit.”

“Sakit apa?”

“Sakit parah. Kakak juga gak begitu ngerti, yang jelas parah sampai-sampai badannya semakin bau.”

“Walaupun udah mandi?”

“Fior, makan dulu.”

Suara lembut namun keras itu membuatku tak berani bertanya lagi— memaksaku menunduk melanjutkan acara makan siang bersama singkat ini. Kakak sepertinya enggan membicarakan Mama. Aku tidak tau apa yang pernah kulalui bersama Kakak sebelum kehilangan sebagian memori, yang bisa disimpulkan adalah kami tidak terlalu dekat dengan Mama.

***

Untuk bisa mengembalikan ingatanku, aku menelusuri rumahku. Awalnya Kakak melarang karena kondisi kakiku dan dia berjanji akan menemani nanti malam. Sepanjang jalan hampir semuanya kukenal dekat. Walaupun sepertinya banyak yang berubah dan tidak bisa kuingat. Satu-satunya ruangan yang tidak terasa asing adalah ruang tamu.

Sejauh ini biasa saja. Kakak hanya melarang memasuki kamar Mama yang sudah dikunci rapat. Sebenarnya Mama sakit apa sampai tak boleh dijenguk barangkali sebentar saja? Bukankah biasanya jika orangtua sakit, seorang anak berkewajiban merawat dan mengurusnya? Sebenci apa pun Kakak, apa harus melarangku menengoknya?

Atensiku dicuri oleh bola merah. Entah dari mana asalnya, benda itu menggelinding.

“... ni.” Sayup-sayup terdengar suara wanita.

Siapa? Mama? Apakah itu berasal dari sumber bola itu menggelinding? Dengan ragu-ragu aku mendekati asal muasal bola itu menampakkan diri.

“Si … ni.”

Suaranya semakin jelas. Tepat di balik tembok ini seharusnya adalah ruang tamu. Aku sudah melewatinya tadi dan kebetulan sekali ruang tamu berdekatan dengan kamar Mama. Mungkin dia ingin bertemu denganku.

Aku terperenyak.

Ada perempuan, menjuntai dalam keadaan penuh darah dan luka. Tangannya diikat tali tambang, menggantungkan tubuhnya. Dia sepertinya dibunuh. Rambutnya memiliki warna yang sama denganku— hitam legam seperti arang. Dia mengenakan pakaian merah. Tidak asing.

Empat BelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang