Kepingan VI

13 2 0
                                    

Aku membuka mataku dengan terkesiap, dan menemukan diriku masih berada di dalam bus. Kepalaku terasa sangat sakit, sekujur tubuhku nyeri. Telingaku mulai berdenging dan pandanganku menjadi kabur. Aku bisa merasakan tubuhku yang terbaring di atas lempengan dingin di bagian belakang bus. Aku terhempas sejauh itu. Apa yang tadi juga mimpi? Apa aku pingsan? Sudah berapa lama?

Aku mengernyit dan perlahan duduk. Yang lain pasti tidak jauh. Mirai ada di kursi keempat, kalau aku tidak salah ingat. Mimpi ini berguna juga akhirnya.

Setelah napasku mulai lebih teratur dan jantungku juga mulai berdegup sebagaimana mestinya, aku bangkit berdiri dan mulai memanjat ke atas. Aku juga melihat sekeliling kalau-kalau ranselku tersangkut di suatu tempat. Tapi saat aku mencapai Mirai yang ternyata sudah terjaga dan meringis, aku tidak menemukan tasku.

"Mirai chan, kau tidak apa-apa?" aku bertanya.

Ia mengangguk dan meraih tanganku yang terulur padanya. Ia berdiri kemudian menyandang tasnya ke bahunya. Aku bisa melihat lengan kirinya yang lebam. Pasti terhantam kursi atau gagang jendela.

"Kau tidak apa-apa?" ia bertanya dan melihatku dari atas hingga bawah.

Aku mengangguk. "Tidak apa-apa. Kita harus menemukan yang lain. Kau pegang ponselmu?"

Mirai menggeleng. "Sepertinya terlempar ke suatu tempat."

Aku mengangguk mengerti. Lampu terowongan berkedip, membuatku merasa tidak nyaman karena aku tahu dalam waktu dekat ia akan padam. "Ayo, kita harus segera keluar dari sini."

Jadi kami mulai memanjat ke atas.

"Shida chan, Mayuyu?" panggilan Daiki membuatku menengadah.

"Dai chan!" aku menyahutinya. Ia membantu kami sampai di depan lebih cepat.

"Kalian tidak apa-apa?" mereka bertanya saat aku dan Mirai sudah berdiri di depan mereka.

Kami mengangguk.

"Kalian tampak berantakan sekali," komentarku. Sama seperti di mimpiku. Lalu aku teringat, "Apa kalian membawa ponsel?"

Yuuto mengangguk. "Ada. Tapi sudah kucoba, tidak ada signal."

Aku mengangguk. Persis. "Ayo, kita harus cepat keluar dari sini. Lampu terowongannya terlihat akan padam kapan saja. Kita harus mencapai ujung terowongan sebelum lampunya padam. Mungkin juga ada signal di luar."

Yang lain mengangguk dan kami memanjati pintu yang diawali dengan Yuuto, tentunya.

Setelahnya, kami mulai berjalan di terowongan, menuju arah kami masuk tanpa basa-basi. Aku bilang pada mereka untuk tidak melihat hal lain dan fokus saja untuk keluar dari sana. Seharusnya perjalanan kami tidak lama.

"Kira-kira apa penyebab kecelakaan busnya ya?" tanya Ryosuke tanpa melambatkan jalannya.

"Terowongannya runtuh. Karena itu lampunya berkedip seperti ini," jawabku.

"Dari mana kau tahu?" tanya Yuuto.

"Mimpiku."

Mirai mengerutkan dahinya. "Bukannya mimpimu berakhir waktu busnya kecelakaan?"

"Mimpi baru datang saat aku tidur di bus tadi," jelasku. "Aku tidak yakin seutuhnya. Tapi kurasa kita harus cepat."

"Berarti mimpimu benar-benar menjadi nyata?" Daiki menyuarakan pikirannya. Ia terlihat syok.

Aku mengangguk. "Sepertinya begitu." Aku merasa kepalaku sakit lagi. Uh. Perasaanku jadi lebih tidak enak.

"Wah, ini seperti Final Destination!" seru Yuuto. "Tapi kita tidak mati satu per satu."

Aku menggeleng kencang. Jantungku berdetak sangat kuat. Napasku mulai memendek. Serangan panik. Ada apa denganku? Kata-kata Yuuto tidak benar. Tidak ada yang mati di dalam mimpiku. Ataukah belum? Apa yang terjadi saat mataku dan Yuuto bertemu di akhir mimpi? Apa arti dari tatapan itu?

"Yuuto kun," aku memanggilnya, lalu ia menoleh padaku. "Ada apa?" tanyanya. Aku ragu sejenak. Ia menatapku penuh tanya. Tatapannya sangat polos.

Uh. Apa sih, yang aku pikirkan? Mana mungkin Yuuto melakukan hal yang buruk pada kami semua.

"Ada apa?" ia bersuara dalam pikiranku.

Aku tidak langsung menjawabnya. "Kita harus keluar dari sini secepatnya. Kau bisa bantu aku kan?" aku berkata kemudian.

Ia mengerjap sekali, menandakan ia mendengarku. Lalu ia mengangguk samar. "Baiklah."

"Mayuyu, kau tidak apa-apa?" Daiki yang berjalan di sebelahku bertanya.

Aku menggeleng. "Tenang saja. Kita akan keluar dari sini."

Mirai menarik tanganku, yang membuatku kaget setengah mati karena sentakannya yang tiba-tiba. Aku berhenti berjalan dan menghadapnya. "Apa-apaan..?!"

Yang lain ikut berhenti dan menatap kami. "Kau ini kenapa sih?!" Mirai marah padaku.

Aku mengerutkan dahiku. "Apa maksudmu?"

"Kau bertingkah aneh! Aku tahu kita harus keluar dari sini secepat mungkin, tapi kau seperti orang gila. Kita tidak akan mati di sini, jadi tenanglah! Kau kena serangan panik saat ini. Tenangkan dirimu!" ia membentak.

Aku terkesiap. Napasku masih memburu dan jantungku terus memalu dengan begitu cepat. Aku bisa merasakan keringat yang mengalir di punggung dan pelipisku. Tangan dan kakiku mendingin, sama seperti saat aku ingin naik bus tadi. Telingaku berdenging saat Mirai berbicara, aku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas. "Tidak. Kita harus keluar sebelum lampunya padam. Bukannya lebih aneh kita sudah berjalan cukup lama tapi kita belum sampai juga? Apa kalian tidak merasakannya? Apa hanya aku yang merasa kalau ini tidak wajar?!" aku berkata cepat.

Pats.

Lampu terowongan yang sedari tadi berkedip akhirnya padam.

.

Aku bisa mendengar suara napas kami yang sama-sama memburu setelah memanggil nama satu sama lain sesaat setelah lampunya padam dan suasana menjadi gelap gulita. Aku dengan panik meminta siapa pun yang memiliki alat penerangan untuk segera menyalakannya.

"Tenang, semuanya!" Yuuto bersuara tegas. Kami semua terdiam.

"Dengar," kata Yuuto lagi. "Jalanlah ke arah suaraku. Jangan panik. Jika ada orang di dekat kalian, pegang tangannya. Kita tidak boleh terpisah. Setelah kita bersama aku akan menyalakan senter."

"Kenapa tidak nyalakan sekarang saja supaya lebih mudah menemukan satu sama lain?" celutukku. "Dengan begitu akan lebih mudah untuk berjalan ke arahmu."

Hening sebentar.

"Baiklah."

Yuuto menyalakan fitur senter dari ponselnya, tapi ia terlihat jauh dari tempatku berdiri. Aneh. Apa Yuuto sejauh itu dari tadi? Tapi kenapa suaranya terdengar dekat? Ia mengarahkan cahayanya tepat ke arahku, ia terlihat seperti bayangan dari tempatku berdiri. Aku juga tidak bisa melihat yang lain. Di mana mereka? Bukankah beberapa saat yang lalu Mirai ada di sebelahku? Apa karena kami panik tadi kami jadi berpencar?

Aku baru saja ingin melangkah pada sumber cahaya alias ke arah Yuuto saat aku merasakan sebuah tolakan di punggungku. Sebuah tubrukan yang tiba-tiba. Keseimbanganku hilang seketika dan aku terjatuh terjerembap ke jalan.

-Watashi no Yume-
-To be continue... -

Aloha!
Selamat tahun baru, semuanya!
Hari ini udah beraktifitas seperti biasa nih setelah libur panjang Natal dan tahun baru. Uwu
Tetap semangat ya!

Semoga di tahun ini ff ini bisa kelar.
Hahaha.. X3

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini sampai di sini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, teman-teman!

Sampai jumpa di kepingan berikutnya. ^^//

-Akiyama Fuyuki

.

.

.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Watashi no Yume [HSJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang