Kepingan III

15 4 0
                                    

Aku memasukkan baju terakhirku ke dalam koper dan menguncinya. Kudorong koper ke dekat pintu kamar supaya memudahkanku untuk membawanya nanti. Malam ini kami akan berangkat menuju Shirakawa. Paman Yuuto menawarkan diri untuk mengantar kami menuju stasiun Shinjuku, dari sana baru kami akan naik bus.

Ngomong-ngomong soal bus, perasaanku benar-benar tidak enak sejak aku mengetahui bahwa kami akan melakukan perjalanan dengan bus. Apa mereka tidak ingat kalau aku bermimpi buruk soal ini setiap malam? Ukh..

Dan sejujurnya mimpi itu bertambah buruk. Kalau biasanya mimpi itu berakhir dengan kami semua yang terhempas ke sisi belakang bus, mimpi terbaruku berkembang dengan adanya tokoh baru, yaitu sang supir bus yang tiba-tiba melarikan diri sebelum bus meledak dalam kobaran api. Kantong mataku bertambah hitam dan aku harus menutupinya dengan concelear.

Ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Nama Arioka Daiki muncul di layar. Segera kuambil ponselku dari nakas dan mengangkat teleponnya. "Ada apa, Dai chan?"

"Ah, Mayuyu! Aku dan Yama chan sudah di rumah Nakajima. Sebentar lagi kami akan jalan menuju rumahmu. Sudah siap kan? Apa Shida chan mengabarimu?" Daiki mencerocos tanpa jeda. Sifat bawelnya kumat.

"Pelan-pelan, Dai chan. Aku sudah siap. Seharusnya sebentar lagi Mirai sampai di rumahku, lalu kita bisa berangkat," aku menjawab sambil tersenyum geli. Daiki adalah satu-satunya teman laki-laki yang kupanggil nama kecilnya dengan chan sebagai pemanis. Karakternya memudahkan orang-orang akrab padanya, dan dia mengizinkan kami memanggilnya Dai chan. Aku juga mendengar bahwa ada temannya yang memanggilnya Ari chan. Dan dia juga dengan santai memanggilku Mayuyu, panggilan yang umumnya hanya digunakan oleh keluarga dan sahabat dekatku. Yah, saat ini mereka (Daiki, Ryosuke, dan Yuuto) memang sahabat dekatku sih. Hm..

"Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa panggil aku ya!" ia berkata dengan riang.

Aku mengangguk mengiyakan dan mengakhiri panggilan. Kemudian aku menatap sekali lagi kamarku, melihat kira-kira apa lagi yang harus kujejalkan ke dalam ranselku jika ada barang yang tertinggal. Setelah memastikan semuanya sudah lengkap, kusandang ranselku ke bahu dan menyeret koper keluar kamar.

Saat aku menuruni tangga dari kamarku yang berada di lantai 2, bel pintu berbunyi. Itu pasti Mirai.

"Biar Ibu yang buka," tawar ibuku yang seharusnya sedang berada di dapur. Tapi karena melihatku membawa koper, ia memutuskan untuk membukakan pintu.

"Arigatou Kaa san," ucapku sambil tersenyum. Kuraih lagi tentengan koperku dan menuruni sisa anak tangga.

Aku dan Mirai menunggu di teras rumah sambil minum es lemon yang dibuat ibu, membicarakan hal-hal tidak penting yang terasa menyenangkan, serta rencana kegiatan yang akan kami lakukan selama sepekan di rumah nenek Daiki.

Tak lama kemudian, jemputan kami tiba dan kami pamit pada ibuku. Aku dan Mirai duduk di kursi penumpang bagian tengah sementara Daiki dan Ryosuke duduk di belakang, berjejalan dengan koper. Yuuto duduk di sebelah pamannya yang menyetir.

Kami berbasa-basi dengan paman Yuuto sampai kami tiba di tujuan. Setelah turun dan mengucapkan terima kasih, kami melangkah menuju pintu masuk.

Dari kejauhan, aku bisa melihat bus yang akan kami naiki. Semakin dekat dengan bus yang akan membawa kami ke Shirakawa, perasaanku makin tak enak. Membaca spanduk di kaca depan bus yang bertuliskan Dream Comes True menambah keteganganku. Aku nyaris tremor. Tangan dan kakiku mendingin walau aku tahu kaos dan celana pendekku memang bisa membuatku kedinginan. Tapi ini kan musim panas. Sangat aneh jika aku membeku.

Watashi no Yume [HSJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang