Aku tak tahu berapa lama aku tertidur, tapi saat aku terbangun, langit sudah terlihat sangat gelap dan jalanan begitu sepi. Aneh. Apa kota ini biasanya memang sepi? Aku mengerutkan dahiku karena berpikir keras dan baru bangun tidur. Aku merogoh tas dan mengeluarkan botol air mineral dan meminumnya.
Aku menoleh ke samping. Mirai tertidur dengan earphone di telinganya sambil memeluk ranselnya. Aku berkedip beberapa kali untuk mengusir sisa-sisa kantukku. Aku beralih ke sisi lain. Daiki dan Yuuto juga tertidur dengan kepala saling beradu. Di depan mereka, Ryosuke masih mengedit video di laptopnya.
Rasanya familiar. Aku mengerut, perasaanku tidak enak. Dan aku tidak suka perasaan ini. Setelah percobaan penenangan diri yang sia-sia, aku memutuskan untuk tidur lagi saja. Dengan harapan kami akan tiba di Shirakawa saat aku membuka mata lagi.
.
Harapanku tidak terwujud. Saat aku membuka mata lagi, di luar masih gelap dan kami masih dalam perjalanan. Kulihat arlojiku, pukul 11:39. Aku menghela napas kecil.
"Kenapa, Mayu?" tanya Mirai yang ternyata sudah bangun dari tidurnya. Mungkin ia tidak bisa tidur lagi setelah terbangun. Layar ponselnya menyala, menayangkan cuplikan film yang sedang ditontonnya.
Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. "Hmm.. Tidak apa-apa. Cuma perasaanku tidak enak."
"Perasaanmu aja kali," ujarnya menenangkan.
Aku mengangguk gugup. Aku menoleh lagi ke arah Daiki dan Yuuto yang kali ini sedang kembali melanjutkan tontonan film dari layar laptop. Ryosuke, masih setia dengan editan videonya.
Dèja vu.
Aku mengerutkan kening. Apa aku sedang bermimpi lagi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?
Bus kami memasuki terowongan dan lampu terowongan yang kuning temaram terasa sangat suram. Aku tidak bisa menghentikan perasaan yang tidak enak ini. Jantungku memalu dadaku dengan sangat kencang seolah ia sedang mendobrak rongga dadaku, ingin keluar. Ukh.. Bisa-bisa aku kena serangan jantung.
"Hei, Mayu. Kau tidak apa-apa?" lagi-lagi Mirai bertanya. Wajahku pasti pucat pasi makanya ia bertanya. "Apa kau mual?"
Aku menggeleng. Lebih buruk dari ingin muntah. Rasanya aku bisa berhenti bernapas kapan saja. Sesak. Perutku juga sakit. Apa ini hanya pikiran berlebihanku saja ya? Apa ini nyata? Karena sudah terlalu sering memimpikan hal ini, aku tak bisa lagi membedakan yang mana mimpi yang mana nyata.
Mirai menepuk-nepuk punggungku dengan pelan, mencoba menenangkanku. Wajahnya terlihat khawatir.
"Ada apa? Kau sakit?" tanya Yuuto tiba-tiba. Ia dan Daiki menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kuartikan.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Dan diamku menjadi jawaban pertanyaan Yuuto. Aku apa-apa dan mereka tidak akan memiliki solusi dari masalah ini.
"Apa kita turun saja?" Ryosuke yang telah menutup layar laptopnya berkata. Ia berdiri dari duduknya dan mendekat padaku. Ia berjongkok di sebelah kursiku, dan onyx hitamnya menatapku dalam-dalam.
"Tidak. Kita tidak mungkin jalan kaki ke sana." Aku berkata dengan susah payah.
Ryosuke berbalik menatap Yuuto. Kini giliran Yuuto yang menatapku dalam-dalam. "Kau yakin?"
Aku mengangguk. Sejujurnya aku ingin sekali mengiyakan saran Ryosuke agar kami turun dari bus. Tapi kami tidak mungkin berjalan kaki sampai stasiun bus berikutnya. Perjalanan masih sangat jauh dan aku tidak ingin teman-temanku berjalan gara-gara aku dan mimpi bodohku, juga perasaan tidak enakku.
Ryosuke mengangguk. "Baiklah kalau begitu." Ia kembali ke tempat duduknya.
"Kau tahu aku bisa berbicara padamu lewat pikiran kan?" Suara Yuuto muncul di kepalaku kemudian.
Aku menoleh padanya. "Aku tidak apa-apa," aku membalas.
"Tidak. Wajahmu pucat dan pikiranmu kacau. Kita bisa turun kalau kau benar-benar membutuhkannya. Kau terlihat sulit bernapas."
"Tidak. Tenang saja. Ini akan berakhir setelah aku minum air dan tidur. Mungkin aku hanya terlalu gugup." Aku tak ingin berdebat dengannya. Jadi aku cepat-cepat mengambil botol minumku dan menenggaknya hingga habis. Setelah itu aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur lagi.
"...Baiklah. Selamat tidur."
"Hmm.." aku membalas sekenanya.
Kukira aku nyaris tertidur saat aku mendengar suara decitan ban di aspal dan ada daya tarik yang mendorong tubuhku ke depan dengan cepat. Aku membuka mataku dan di saat yang bersamaan, dunia terasa terbalik dan aku terlempar ke sisi belakang bus ketika bus menabrak sisi terowongan setelah berputar beberapa kali.
BRAKKK!!!
Aku mengerang. Sekujur tubuhku terasa sakit. Aku juga bisa mendengar suara erangan orang lain yang berada di sekitarku. Ada sesuatu yang menimpa diriku, dan itu berat. Bagaimana ini sangat begitu nyata? Apa ini nyata?
Aku lagi-lagi sulit bernapas. Tapi aku berjuang untuk mengangkat apa yang menimpaku. Aku harus memastikan kabar yang lain. Setelah aku berhasil menyingkirkan benda yang ternyata adalah sebuah tas besar, aku perlahan mencoba untuk berdiri. Kepalaku sakit sekali. Sekujur tubuhku terasa dingin dan bergetar. Aku melihat lenganku yang mengucurkan darah, mungkin karena mengenai serpihan kaca jendela yang pecah.
Karena tidak sanggup berdiri, aku sedikit merangkak. Aku bisa melihat seseorang yang meringkuk di kursi yang ada di depanku. Posisi bus yang kini miring 90° membuatnya terlihat tidur di atas jendela yang pecah. Di bawah kaca yang pecah itu adalah aspal yang mulai tergenang darah.
Ukh..
Aku ingin muntah.
"Mirai?" aku memanggil. Tak ada jawaban.
"Dai chan? Yuuto kun? Yama chan?" aku memanggil yang lain. Tapi masih tak ada jawaban.
Kupanjati kursi demi kursi dengan tubuh bergetar dan menahan sakit. Aku harus menemukan mereka. Mirai duduk di sebelahku tadi. Seharusnya ia tidak jauh.
"Mirai!" kupanggil namanya sekali lagi, berharap ia akan menyahut dan memberitahuku keberadaannya. Kupanggil juga yang lain. Tapi mereka tidak menjawabku.
Kemana mereka? Rasanya aku ingin menangis. Apa mimpiku benar-benar menjadi kenyataan? Seburuk inikah saat di mimpiku yang biasanya? Tidak. Ini jauh lebih menyeramkan. Ini benar-benar nyata.
-Watashi no Yume-
-To be continue.. -Adios~
-Akiyama Fuyuki
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Watashi no Yume [HSJ]
FanfictionMimpi yang terus berulang ini membuatku gila! Perkataan Yuuto dan Daiki juga sama sekali tidak membantu. Liburan musim panas yang kami nantikan juga terancam berantakan karena ini. Kejadian demi kejadian yang muncul di mimpiku terus terealisasikan p...