Kepingan V

9 2 0
                                    

Aku berhasil menemukan Mirai di kursi ke empat. Ia sedang meringkuk memeluk ranselnya. Lampu terowongan yang oranye temaram berkedip menembus sisi jendela di atas kami, menyinari wajah pucat Mirai yang mengernyit menahan sakit. Lega melihatnya yang sepertinya tidak cedera parah.

"Hei," aku menepuk lengannya dengan pelan.

Mirai membuka matanya pelan. Ia mengedip beberapa kali sebelum menoleh ke arahku. "Mayu." Ia menyahut dengan suara pelan. "Rasanya badanku remuk."

"Aku juga," akuku. Lalu kubantu ia berdiri dengan susah payah karena aku berada di belakang kursinya. Ia meringis. "Pinggangku sakit. Kau tidak apa-apa?"

Aku mengangguk. "Tidak apa-apa. Hanya lenganku yang terluka."

"Mayuyu! Shida chan?" Suara Daiki terdengar, memanggil kami.

Kami menoleh dan melihat Daiki yang berdiri bersama Yuuto dan Ryosuke. Penampilan mereka begitu berantakan. Aku bisa melihat Daiki yang mimisan dan darah yang menghias pelipis Yuuto dan Ryosuke.

Aku lega sekali melihat mereka. Sepertinya kami semua tidak cedera separah bus yang terbalik ini.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ryosuke.

Kami mengangguk. "Kalian?"

Mereka bilang kalau mereka baik-baik saja, hanya sakit kepala dan memar-memar di sekujur tubuh, beruntung tidak ada yang patah. Mungkin karena mereka duduk di sisi kiri bus, mereka tidak berpindah posisi dari tempat mereka duduk.

"Ayo kita keluar," ajak Daiki. Atau Yuuto ya? Aku tidak ingat. Tapi kami mengangguk dan mulai naik menuju pintu depan bus.

Pintu berada di atas kami, tentunya. Dan kami harus memanfaatkan tinggi Yuuto untuk memanjat keluar. Pak supir bus yang seharusnya ada di kursi pengemudi tidak terlihat. Saat kami melihat ke sisi pintu yang berseberangan pun, kami tak bisa menemukan bapak berusia empat puluhan itu.

"Ke mana bapak itu pergi ya?" tanya Mirai.

Aku menggeleng. "Mungkin sudah keluar?"

Kami memanjat keluar dibantu Yuuto yang sudah naik duluan untuk membuka pintu. Daiki adalah orang terakhir yang keluar setelah Mirai, aku, dan Ryosuke. Saat aku pelan-pelan menuruni sisi bus yang terbalik, kakiku masih bergetar. Daiki membantuku menapak jalan yang disinari cahaya temaram lampu terowongan yang berkedip.

Kami melihat sekeliling, mencoba mencari apa penyebab bus ini mengalami kecelakaan seperti ini.

"Wah..." Ucapan Yuuto membuat kami sama-sama mendekat padanya dan melihat apa yang ia lihat.

Ternyata terowongannya runtuh dan menutup jalan. Mungkin gara-gara itu lampu terus berkedip. Sepertinya lampunya akan segera padam dan kami tidak akan bisa melihat apa-apa. Reruntuhannya tidak terlalu parah. Tapi akses menuju keluar benar-benar tertutup.

"Ayo kita berjalan dari arah masuk. Kita bisa keluar dari sana," saran Ryosuke.

Kami mengangguk setuju dan mulai berjalan.

Hal mengejutkan lainnya datang setelah kami berjalan selama dua puluh menit menuju arah masuk terowongan. Lampu terowongan padam dan kami harus berjalan dalam kegelapan total. Kami meraih lengan satu sama lain untuk memastikan kami tidak terpisah.

"Hitung 1 sampai 5 ya," pinta Yuuto. "Satu."

"Dua," suara Ryosuke ada di sebelah Yuuto.

"Tiga," sambung Mirai di sebelahku.

"Empat," aku menambah.

"Lima," kata Daiki yang di kiriku akhirnya.

"Oke. Ayo kita lanjut jalan," ajak Yuuto.

Aku bisa merasakan Mirai yang mulai berjalan jadi aku ikut berjalan di sebelahnya. Daiki mengikutiku. Di hadapan kami benar-benar gelap gulita. Kuharap Yuuto bisa menuntun kami ke jalan yang benar dan tidak menabrak apa-apa. Lebih baiknya lagi, kalau ada mobil yang lewat dan kami bisa menumpang kembali ke Tokyo.

"Hei, tidak adakah satu dari kita yang membawa ponsel?" tanya Ryosuke tiba-tiba.

"Ponselku sepertinya terlempar di dalam bus. Aku sama sekali tidak mengingat ponselku," jawab Mirai.

"Aku juga," sahutku.

"Aku ada. Tapi tidak ada signal di sini," ujar Yuuto.

"Setidaknya jadikan itu sebagai penerangan. Seharusnya ada fitur senter di sana," kata Daiki.

"Benar juga." Aku bisa mendengar Yuuto menepuk jidatnya.

Beberapa saat kemudian, cahaya menerangi jalan di depan kami. Meski tidak terlalu terang, tapi cukup untuk tidak membuat kami tersandung.

"Untuk berjaga-jaga baterainya habis, tetap berpegangan saja, ya." Yuuto mengingatkan. Kami mengangguk menyetujui. Akan jauh lebih buruk kalau kami terpisah.

Kami terus berjalan ke depan.

Aneh sekali. Rasanya kami sudah berjalan sangat lama. Tapi kenapa kami tidak kunjung sampai di ujung terowongan ya? Padahal seingatku jarak antara pintu masuk terowongan dan lokasi runtuhnya terowongan tadi tidak terlalu jauh. Apa ini perasaanku saja ya?

Aku mengerutkan kening, berpikir keras. Seharusnya tidak jauh. Kami sudah berjalan setidaknya empat puluh menit. Seharusnya kami sudah sampai di ujung terowongan. Kenapa ya? Perasaan tidak enakku mulai muncul lagi. Di mimpi burukku, itu berakhir sampai kecelakaan saja. Kejadian berikutnya sama sekali tidak kuketahui karena aku terbangun.

"Anu... Kalian tidak merasa kalau kita sudah berjalan sangat lama?" aku menyuarakan pikiranku akhirnya.

Yuuto berhenti berjalan. Yang lain ikut berhenti, jadi aku juga berhenti. Aku melihat Yuuto. Pandangan kami bertemu.

Lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

-Watashi no Yume-
-To be continue... -

Watashi no Yume [HSJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang