19 - Daria

835 202 61
                                    

Setelah meninggalkan kamar Damien, ia menangis semalaman. Tangis membasahi kedua pipinya sebagaimana hujan membasuh dinding kastil. Ia meringkuk di dalam selimut, menyentuh punggung tangannya tempat sentuhan Damien membakar permukaannya. Ia menyesali kebodohannya untuk memercayai cinta sekali lagi. Ia membenci kebodohan Damien yang merasa dirinya tidak cukup baik bagi Daria. Ia benci, benci, dan, sekaligus, ia cinta. Dan itu membuat sakit di hatinya pedih layaknya menabur garam di atas luka.

            Pada suatu saat ia tertidur. Ia bangun dengan mata sembab dan perasaan buruk di dadanya. Emilia hampir melonjak terkejut ketika mendapati Daria beranjak dari kasur, memandangi pagi hari dengan dongkol. Bukan terkejut karena raut wajahnya yang siap memakan para pelayan berlalu-lalang. Lebih karena, tak seperti biasanya, Daria tidak harus diseret dari ranjangnya.

            Tetapi, Emilia adalah pelayan pribadinya yang bijak. Menyadari perubahan mendadak tersebut, Emilia tidak banyak bicara pagi itu. Tidak ada celoteh mengenai Noah karena Daria tidak memancingnya dengan pertanyaan mengenai Damien. Ia memandikan Daria, memakaikannya gaun kasual bernuansa kremnya, menata rambutnya dalam satu ikatan sederhana. Daria memerhatikan jatuh rambut cokelatnya membelai punggungnya. Bagaimana helaian itu terasa begitu sempurna dalam genggaman Damien.

            Daria menghela napasnya, mengusir ingatan semalam dari benaknya. Ia memandangi bayangannya di cermin. Emilia berhasil menyembunyikan lingkaran setan yang menghitam di bawah matanya, namun mata bengkaknya tampak jelas bagaimana pun. Terkadang, alih-alih terlahir dengan wajah bak gelas kaca ini, Daria berharap terlahir dengan persona es Petra atau pembawaan Kania yang menjauhkan orang-orang di sekitarnya. Setidaknya, dengan begitu Daria tidak akan terus-menerus diingatkan betapa sedih dirinya. Ia dapat mengunci kesedihan itu, jauh, jauh, jauh di dalam dirinya. 

            "Apakah semua pria sebodoh dia?" gumam Daria, mengundang tatapan kebingungan Emilia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            "Apakah semua pria sebodoh dia?" gumam Daria, mengundang tatapan kebingungan Emilia.

            Pelayannya itu kembali menyisir rambutnya setelah sebuah jeda. "Mereka semua makhluk bodoh dan terkadang terlalu angkuh untuk mengakuinya."

            "Dan dia adalah yang terbodoh dari semuanya." Daria tidak berniat mengutarakannya kencang, namun meloloskan kalimat itu dari hatinya meringankan sedikit bebannya. Mungkin, ia hanya butuh teman bicara dan Emilia adalah jawaban atas kesedihannya. Daria tidak pernah terlarut dalam kesedihan terlalu lama. Ia akan berjalan girang nyaris lompat di lorong kastil begitu membuka pintu, menghirup udara segar.

            Lalu, pikir Daria, melalui kamarnya. Suasana hatinya kembali memburuk.

            Emilia, akhirnya, berbicara. Tampaknya tidak tahan dengan perilaku diam majikannya. Hal terburuk yang dapat dilakukan seseorang gemar berbicara adalah diam. Karena keheningan yang mereka timbulkan tidak pernah berarti baik. "Mereka memerlukan sedikit tamparan, Tuan Putri, supaya sadar akan kesalahan mereka."

            Menampar Damien tidak terdengar buruk meskipun, sesungguhnya, Daria ingin meninju matanya hingga memar sehingga pria itu tidak mampu menjebak Daria dengan ketampanannya lagi. Kau tidak akan pernah bahagia bersamaku, suara itu bergema di benaknya. Omong kosong. Daria selalu mengetahui apa yang membuatnya bahagia sepanjang hidupnya, dan Damien adalah—demi dewa-dewi—Damien, kebahagiaannya.

DARIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang