20 - Petra

822 190 27
                                    

Petra Alexius of Reyes tidak pernah menduga, sepanjang dua puluh sembilan tahun hidupnya, di suatu titik, bahwa ia akan bertarung bersama Kekaisaran Dyre untuk satu tujuan yang sama: menumbangkan kekuasaan Waisenburg di tanah Albatross. Kesempatan itu menerjang layaknya badai, begitu tiba-tiba serta menggemparkan para pemberontak beberapa saat. Tetapi, Wilhelmus Rhys Albatross—suaminya, pemimpin para Albatross—mengerti kesempatan tidak pernah datang dua kali. Terutama, kesempatan membebaskan rakyat Albatross, menggenapkan cita-cita moyangnya.

            Albatross tidak akan mampu memenangkan pertarungan ini dengan persenjataan yang tidak mumpuni serta jumlah pasukan yang bahkan tidak mencapai dua per tiga pasukan Waisenburg: gabungan beberapa kerajaan aliansinya, namun didominasi prajurit dari Reibeart dan tentara terlatih dari Waisenburg. Albatross juga tidak akan mampu memenangkan pertarungan ini, sebagaimana pun Dewa Perang mencintai mereka, karena serangan impulsif dan semangat semata tidak akan mampu meruntuhkan pertahanan benteng terakhir.

            Mereka membutuhkan pendekatan yang lebih sistematis, tertata, serta tambahan pasukan—dan Kekaisaran Dyre ada untuk melengkapi celah-celah kosong itu. Harapan tunggal mereka adalah musuh bebuyutan Waisenburg, kekaisaran di Benua Timur yang sama tidak terkalahkannya, tetapi reputasi buruknya menjauhkan sebagian besar kerajaan di dunia. Reibeart, kampung halaman Petra, bukan pengecualian. Pada suatu saat di masa lampau, Kekaisaran Dyre mendukung pihak yang salah dan Reibeart tidak mudah mengampuni mereka yang pernah mengkhianatinya. Sehingga selama bertahun-tahun, Kekaisaran Dyre masuk ke dalam daftar hitam tamu Perayaan Musim Panas Reibeart.

            Sedari kecil Petra selalu menganggap mereka musuh karena peristiwa tersebut. Namun— pikir Petra, memandangi Rhys yang tengah mengikatkan sabuk penuh senjata di pinggangnya—ia memiliki cukup pengalaman berdamai dengan musuhnya. Terlebih lagi, setelah mempelajari bahwasanya, sepupu jauh Rhys ialah pangeran keenam belas Kekaisaran Dyre. Pria yang menjanjikan kebebasan Albatross dan, sebagai gantinya, Albatross akan membantunya menggulingkan takhta ayahnya, sang Kaisar. Petra jadi bertanya-tanya, dari mana ia mendapatkan pasukan sebanyak itu. Sebab, sang Kaisar mustahil memercayakan semua ini kepada putra yang akan merebut takhtanya.

            Ketika kapal perang mereka berlabuh di selatan Albatross dua hari lalu,  sama sekali luput dari intaian Waisenburg, Petra tahu untuk tidak banyak bertanya. Mata keunguan Rhys berbinar layaknya permukaan laut kala fajar dan apa yang terpenting adalah kebahagiaannya. Suaminya, kekasihnya, temannya, cintanya. Terkadang, rasa penasaran merenggut lebih banyak dari yang manusia izinkan.

            Dari lautan hitam merah pasukan Dyre di hadapannya, sang Pangeran menghampiri mereka. Meskipun sang Pangeran adalah pria tampan dengan wajah bak dewa, Petra tidak pernah mampu mengabaikan sudut-sudut bibirnya yang kejam. Atau, sebagaimana pria itu memandangi manusia lainnya dengan kebosanan, seakan-akan manusia tidak memiliki tujuan selain hidup dan, kemudian, mati.

            "Sepupu," sang Pangeran menepuk pundak Rhys. "Kudengar kau menikah. Sayang sekali, aku tidak membawa hadiah untuk istrimu." Ia tersenyum malas, mata peraknya jatuh ke wajah Petra. Rambutnya tumbuh lebih panjang dari yang terakhir Petra ingat, namun alih-alih mengurangi ketampanannya, helaian pirang platina itu menekankan intimidasi pada sepanjang garis rahangnya.

            Rhys tidak menepis sentuhan pangeran dari pundaknya, tetapi ia kentara tidak menyukai gestur tersebut. "Kau telat nyaris setahun untuk itu, sesungguhnya."

            Sang Pangeran meraih tangan Petra dan mengecup buku jarinya. "Biarpun begitu," ujarnya, "selamat atas pernikahan Anda..." manik peraknya menemui milik Petra, "... Tuan Putri."

            "Terima kasih." Petra menarik tangannya.

            Ia meluruskan tubuh jenjangnya, berkata untuk terakhir kali sebelum berbalik dengan keanggunan predator, meninggalkan mereka, "Katakan kepadaku kapanpun kau siap, Sepupu."

DARIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang