Renjun tidak mengingat banyak hal.
Ia tak pernah ingat bagaimana jemarinya menari di dada Jaemin ketika pria bertubuh kokoh itu berada di bawahnya, menatapnya dari balik kelopak matanya yang menyayu dengan gairah. Renjun juga tidak ingat bagaimana ia sanggup menggoda Jaemin hingga hilang kesabaran dan akhirnya balik menyerangnya karena dirinya terlalu lama bermain-main dengan kancing kemeja.
Yang samar Renjun ingat adalah ketika Jaemin menatapnya saat semua helai pakaian mereka sudah terlucuti dan berserakan tanpa arah, bertanya untuk terakhir kali, "Kau benar-benar menginginkan ini?"
Jantungnya berdegup setidaknya 120 BPM saat itu. Adrenalin sanggup menarik lepas efek alkohol yang menyelubunginya bagai kabut. Mendadak, Renjun melihat mata Jaemin yang berkilat tetapi penuh dengan pertahanan diri, semua kontak kulit antar kulit yang terjadi, dan ekspresi melembut laki-laki itu ketika ia tak menjawab dalam beberapa detik setelahnya.
Jaemin nyaris menarik diri andai saja Renjun tidak balik menarik lehernya dalam satu rengkuhan putus asa dan mengangguk di sana.
Yang kemudian terjadi mengabur lagi. Hanya ada geraman rendah Jaemin saat memasuki tubuhnya dan gerakan keduanya yang bertemu setengah jalan. Sama-sama meneguk setiap tetes sensasi yang menjalar dan membakar.
Yang mungkin samar-samar Renjun ingat barangkali adalah teriakannya sendiri, nyaring dan menggema ke seluruh ruangan saat pelepasannya datang. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari keningnya yang dielus pelan oleh Jaemin sebelum Renjun benar-benar terbuai serotonin dan memejamkan mata sepenuhnya.
Sementara suara pertamanya pagi berikutnya adalah erangan sakit saat kakinya tersandung celana yang masih tergeletak di lantai. Mengantarkan tubuhnya untuk menimpa lantai berkarpet tanpa sempat mencari pegangan.
Renjun menghujat perlahan di balik napasnya.
Rasa sakit ampuh untuk membuat otaknya bekerja dan sensorinya semakin peka. Termasuk merasai sakit kepala yang menghantam bagai palu di sisi sebelah kiri hingga membuat matanya sulit terbuka.
Kamar hotelnya sepi dan cuma disinari beberapa baris cahaya matahari yang mengintip dari balik korden. Pagi ini mendung. Renjun hanya berharap supaya pesawatnya tidak delay karena cuaca, tanpa harapan lain.
Langkahnya tertatih ke kamar mandi. Menarik engselnya pintu kaca itu hingga terbuka dan memasuki shower buru-buru. Air dingin meluruhkan sisa-sisa hangover-nya walau tidak sepenuhnya. Kepalanya masih berdenyut menyebalkan dan perutnya bergolak tak nyaman. Tetapi ada lebih banyak pikiran yang berseliweran di dalam sana ketimbang saat Renjun bangun tadi.
Seks memang obat tidur yang luar biasa, ia harus mengakui. Renjun bahkan tak ingat kapan terakhir kali tidurnya bisa sepulas itu. Tanpa mimpi dan tidak terbangun di tengah malam hanya karena pikirannya sulit ditenangkan.
Begitu melihat kaca wastafel sambil membasuh wajahnya, Renjun sadar apa alasannya.
Last night was wild, pikirnya sambil meringis.
Ada banyak bercak di leher dan dadanya, merah tua. Tersebar acak di beberapa titik dan begitu kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah pencahayaan lampu kamar mandi.
Telunjuknya menekan pelan satu titik di lehernya dan secara kilat, bisa dibayangkannya wajah Jaemin yang berada di puncak. Ekspresi memuja di kulitnya yang memerah padam itu secara ajaib bisa melintas di ingatan Renjun. Membuat bulu-bulunya meremang panik.
"Let's stop daydreaming." Putus Renjun sambil menarik napas pelan, menghitung lambat-lambat di dalam hati untuk mengatur detak jantungnya yang mulai meronta lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Off the Shore - JaemRen [ ✓ ]
FanfictionKeduanya mengartikan, dan menjalani hidup dengan cara berbeda. Perbedaan berarti waktu yang dilewatkan untuk saling mengetahui sisi-sisi baru yang siap untuk disingkap dari kedua kutub. Antara ketidakteraturan dan ketidakpastian. Antara saling meno...