iv.

2.8K 519 34
                                    


Renjun kurang mengerti—dan mungkin menikmati—konsep liburan.

Kalau dirunut secara sistematis, hari-hari normalnya kurang lebih begini. Renjun akan bangun pagi, berangkat ke kantor pada jam sepuluh kurang, bertengkar entah dengan siapa sebelum jam makan siang, kemudian akan mengejar rapat-rapat di luar kantor setelahnya. Tidak ada jam pulang pasti.

Renjun bisa saja dicegat desainer yang mengeluh sebelum sempat makan malam. Atau ditelepon pihak katering yang kehabisan menu di jalan pulang. Yang paling epik, pernah ada pasangan yang bahkan membangunkannya jam tiga pagi. Meminta ganti vendor cincin nikah, karena calon istrinya sedang browsing internet di jam itu, dan seketika menginginkan model cincin lain.

Kalaupun tidak ada hal-hal begini, Renjun toh akan tetap bertahan di kantor hingga nyaris tengah malam, konsepsi acara yang ingin segera dibereskannya akan terserak di meja beserta coret-coret budget di papan tulis ruang brainstorming. Di jam-jam itu, semua timnya pasti sudah diusirnya pulang. Supaya tidak perlu berjengit menghadapi manajer mereka yang akhirnya membuka keseluruhan kemeja, mengacak-acak rambutnya kalap, dan akan memelototi setiap angka budget plan dengan wajah garang.

Memang tidak terdengar seperti pekerjaan yang mudah, tetapi pekerjaannya membuat Renjun tidak lagi ingat apa itu liburan. Kepalanya tidak bisa lagi kosong. Ia harus punya pengingat konstan apa lagi yang harus dilakukannya nanti, besok, dan beberapa minggu kemudian. Rencana.

Mungkin baru kali ini ada orang yang terbangun di hari kedua liburannya dengan wajah sedatar Renjun, hingga ia bahkan bisa menertawai dirinya sendiri di kaca kamar mandi hotel. Kemudian menghela napas jenuh. Sungguhan, Renjun bingung harus melalui liburan ini bagaimana. Masalahnya, ia terlempar ke Haenam pun tanpa persiapan memadai.

Yangyang, tim kreatifnya yang seumuran sekaligus menjadi partner in crime selama di kantor, berkata bahwa ke tempat yang sama sekali asing bisa memicu naluri petualangnya. Renjun meringis. Petualangan apanya kalau berjalan antara hotel dan pantai saja ia mendapat sakit pinggang semalam ketika merebahkan badan. Hari kedua dan dia sudah merasa terlalu jompo untuk melalui ini semua.

Padahal, liburannya pun cuma tiga hari. Dan Kun menyuruhnya satu minggu, yang dipangkas Renjun menjadi lima hari. Sehari berangkat, tiga hari penuh di Haenam, dan hari kelima untuk pulang. Kun menganggapnya sama saja, karena toh lima hari itu terpepet akhir minggu, yang menggenapkan cutinya jadi tujuh hari, pas. Membuat si CEO puas, dan Renjun merengut.

Renjun menyibak korden kamarnya, membiarkan sinar matahari masuk dan memanaskan seisi ruangan. Ia berharap naif, jika matahari setidaknya bisa mengisi semangatnya yang lesu. Semacam pengisian baterai dengan panas mungkin. Bedanya, Renjun bukan baterai. Tubuhnya tidak terdiri dari alkali. Bahkan hingga lima belas menit berusaha menjemur diri, ia hanya merasa sia-sia. Bajunya mulai terasa panas, dan ia baru saja selesai mandi.

Enggan membuat tubuhnya lengket lagi sebelum berkegiatan apa-apa, Renjun memutuskan untuk turun sarapan ke restoran hotel. Ia menguatkan diri sendiri dengan berjanji untuk menengok lebih banyak halaman Google untuk membuat rencana perjalanan hari ini. Supaya liburannya tidak terasa mumet dan tanpa arah.

Renjun hanya butuh rencana.

Tetapi begitu keluar dari kamar barang beberapa langkah saja, niatnya sudah berantakan.

"Permisi, kau menjatuhkan kartu akses—" Jaemin terdiam begitu Renjun memutar badannya. Dia berada di depan pintu kamar 308. Tepat di sebelah kamar Renjun. "Renjun-ssi? Menyenangkan sekali ternyata kita tetangga."

Kaki Renjun bergerak otomatis mendekati laki-laki itu. Mengambil kartu aksesnya dari tangan Jaemin, jari-jari mereka bersentuhan meski hanya dalam sepersekian detik. Namun, kedua mata dengan iris kecoklatan itu tidak pernah lepas darinya.

Off the Shore - JaemRen [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang