"Kenapa bisa sampai sini?"
Jaemin bertanya padanya, sambil menunduk di depan kakinya yang disiram dengan air mineral dari botol yang dibawa Jaemin dan dicurigai Renjun sebagai air minumnya sendiri.
Laki-laki itu tidak menatapnya dengan aneh, tidak juga menertawai tingkahnya yang seenaknya melangkah melewati karang pantai tanpa alas kaki. Padahal karang-karang itu diisi oleh cangkang kerang mati dan berbagai sisa organisme laut lain.
"Aku naik bus, sengaja mencari tujuan pantai yang sepi." Jawab Renjun, ia tidak mengada-ada.
Tadi pagi, seorang pria paruh baya dengan celemek kotor dan rambut masai menceracau padanya bahwa suasana yang paling enak adalah pantai di kawasan sini. Pria itu sepertinya pemilik restoran lokal yang sudah lelah dengan beberapa perlakuan konyol wisatawan dan sedang bertengkar dengan istrinya di jam sarapan.
Renjun mendengarkannya dengan seksama. Mendapat ilham untuk mendatangi tempat yang dimaksud setelah bertanya macam-macam, dan sebagai gantinya, diberikan tips macam-macam juga untuk mencapai garis tepi pulau.
Dengan tangan-tangannya yang lebih cocok terlihat melakukan aksi maskulin seperti memreteli mesin atau melakukan olahraga semacam basket, sentuhan Jaemin berbeda sama sekali. Lembut, penuh kehati-hatian. Pria itu selalu menatapnya tiap kali kakinya bergerak barang sesenti, hanya untuk memastikannya baik-baik saja.
Renjun baik-baik saja. Meski secara internal tidak. Darahnya berdesir keras tiap kali terjadi kontak kulit antar kulit. Jaemin membersihkan lukanya, membalutnya dengan sebuah scarf yang terlilit di tangannya, dan mendongak.
"Sepatumu ditaruh mana?"
Renjun nyaris melompat di tempat, mencegahnya. Tetapi hal paling minimum yang bisa dilakukannya cuma menahan lengan atas Jaemin yang berkontraksi kaku dari pegangannya.
"Jangan!" Cegahnya panik. "Tidak apa-apa, aku bisa ke sana sendiri."
"Caranya?" Jaemin memandangnya geli, tetapi tidak cukup merendahkan seperti sebuah ejekan. "Kalau kau turun lagi, bisa luka lebih banyak. Kecuali, kau bersedia kugendong?"
Walau dengan wajah memerah perlahan, Jaemin bisa melihat Renjun mempertimbangkan opsinya baik-baik.
Mata Renjun bergerak gelisah. Situasi ini sungguh tidak ideal untuk harga dirinya yang selalu punya identitas kapabel dan independen. Tapi memangnya apa arti independensi di tengah pantai yang nyaris tak berpenghuni kecuali mereka berdua?
Liburan Renjun berubah dari aneh, menjadi makin aneh saja. Sebenarnya juga tidak ada yang terkesan normal dalam liburan yang diambil paska patah hati diputuskan tunangan. Mengenaskan malah. Orang-orang sepertinya memang patut ditemani, takut-takut dia berpikir agak kelewat putus asa dan ingin mencemplungkan diri ke laut yang tak nampak dasarnya.
Tapi berbicara mengenai ditemani, Renjun hanya tidak menyangka saja bahwa kini, ada seorang pria yang sedang memakaikan sepatunya dengan telaten. Teman yang seharusnya dimaksud bukan yang begini. Bukan yang kelewat atraktif sampai-sampai Renjun jadi takut sendiri.
Pertemuan untuk yang kali keenam dengan Jaemin seperti awal cerita-cerita horor di mana si pemeran utama dikuntit psikopat gila. Bebas dari kecurigaan sebelum Renjun dibunuh malam ini di kamarnya. Pikiran itu membuatnya kalut, iya juga, kenapa ia tidak mempertanyakan ini sejak awal?
Jaemin mengangkat wajahnya saat pikiran itu masih tersangkut di kepala Renjun. Dengan senyumnya, Jaemin mengusir curiga dalam satu sapuan. Renjun membuang napasnya perlahan, psikopat mana yang bermain dengan anak kecil di gang, menraktirnya makan, dan sekarang membalut lukanya dengan hati-hati?
KAMU SEDANG MEMBACA
Off the Shore - JaemRen [ ✓ ]
Fiksi PenggemarKeduanya mengartikan, dan menjalani hidup dengan cara berbeda. Perbedaan berarti waktu yang dilewatkan untuk saling mengetahui sisi-sisi baru yang siap untuk disingkap dari kedua kutub. Antara ketidakteraturan dan ketidakpastian. Antara saling meno...