❄9❄

73 21 4
                                    

Felix membanting tasnya keatas tempat tidur. Felix kesal. Rencananya untuk bermain skating gagal. Selain tubuhnya yang sakit-sakit, mata kuliah terakhirnya molor setengah jam. Yang membuatnya terlambat pulang jika tidak segera bergegas.

Felix menatap langit-langit kamarnya, membayangkan dirinya sedang melakukan putaran-putaran kecil di lapangan skating. Lalu tanpa disadari, Felix mulai tertidur.

---

Felix kecil melihat bundanya berdiri diujung rooftop vila keluarganya. Tubuh bundanya terlihat sangat rapuh diatas sana.

"Bunda..." panggil Felix kecil dengan suara lirih. Harap-harap bundanya bisa mendengar suaranya yang parau karena habis menangis. Felix kecil habis terjatuh dari sepeda.

"Bunda apa diatas sana? Bunda bantuin Felix. Sepeda Felix masuk ke danau bunda... Bunda turun... Tolongin Felix..."

Felix kecil bisa melihat tatapan bundanya. Mata merah dengan air mata yang masih mengalir itu menatap Felix kecil dengan kesedihan.

"Bunda..." panggil Felix kecil sekali lagi. Dan itu menjadi panggilan terakhir untuk bundanya. Bundanya turun. Dengan menjatuhkan dirinya dari rooftop vila.

---

Deeran menggoyangkan lengan Felix.

"Lix? Bangun."

Deeran bisa melihat Felix yang amat sangat gelisah didalam tidurnya. Butir-butir keringat dingin sebesar biji jagung jatuh dari dahinya. Nafasnya menderu dengan cepat.

"FELIX!" satu bentakan dari Deeran membuat Felix membuka matanya. Nafasnya tidak teratur. Felix buru-buru membuka laci meja disamping tempat tidurnya. Tangannya mengambil sebuah pil dari dalam botol, kemudian menelannya satu.

Nafasnya perlahan mulai teratur.

"Lo ngapain disini?" tanya Felix ketus. Deeran menatap Felix tidak percaya. Bisa-bisanya Felix mengketusinya seperti itu.

Ketika hendak menjawab, mata Deeran melihat lebam ditubuh Felix karena bajunya yang sedikit terangkat.

"Lo kenapa?" Deeran duduk disamping Felix dan membuka bajunya lebih banyak. Ternyata tidak hanya satu lebam. Ada sekitar tiga lebam yang Deeran lihat.

Felix langsung menarik bajunya kebawah.

"Lo sudah masuk ke kamar orang tanpa izin, sekarang malah buka-buka baju gua. Lo mesum ya."

"Dijaga mulutnya. Dih, tahu gini gua nggak masuk kamar lo bangsat."

Deeran beranjak pergi dari kamar Felix. Namun langkahnya terhenti dan dia berbalik sebentar.

"Gua tahu lo benci sama gua. Gua juga benci sama lo. Tapi bisa berhenti minum obat penenang itu? Lo harus ngobatin trauma lo dengan sehat, Lix."

...

Lino memasuki rumahnya dengan bersenandung kecil. Namun langkahnya yang ringan mendadak terhenti saat melewati ruang tamu.

Mamanya ada disana. Dengan segelas wine ditangannya.

Lino berusaha mengacuhkannya dengan melewati ruang tamu begitu saja.

"Kellino. Kamu nggak mau nyapa mama?"

Langkahnya terhenti.

"Nggak. Mama dapet kepercayaan diri dari mana kalo aku mau nyapa?"

"Kamu masih sama kurang ajarnya ya."

"Makasih. Itu pujian yang bikin aku tersanjung."

Mamanya meletakkan gelas wine. Membalikkan badan untuk menatap anak semata wayangnya itu.

"Kenapa kamu nggak pernah berubah, Kellino. Kamu nggak ada bersyukurnya masih mama sokong sampai sekarang. Kamu mau mama ambil semua fasilitas kamu? Kamu mau mama balikin ke rumah papa kamu sama selingkuhannya itu?"

Lino memainkan lidahnya untuk menekan dinding mulutnya. Ini adalah kebiasaannya untuk menahan diri agar tidak kelepasan emosi. Lino menarik napas panjang saat merasa dapat mengendalikan dirinya.

"Mama kalau emang capek, mama bisa berhenti sekarang. Lino nggak pernah maksa mama ngasih kehidupan dalam bentuk apapun. Mama bisa berhenti. Sekarang."

...

Chandra membanting ponselnya. Dia saat ini sedang berada di basecamp bersama dengan Banyu.

"Lo kenapa sih, Chan? Kemaren Naren, terus Lino, sekarang lo. Hidup kalian terlalu berantakan apa bagaimana ha?" kata Banyu sambil mengambil botol air didekatnya. Dia mengambil hape Chandra yang tergeletak disebelahnya.

"Buka aja hape gua."

Banyu menenggak air sambil membuka hape Chandra. Tiba-tiba saja Banyu menyemburkan air yang ada dimulutnya dan sedikit mengenai Chandra.

"Lo! Bisa nggak, nggak bikin gua makin emosi?!"

Banyu tidak menanggapi omelan Chandra. Matanya masih membelaak melihat hape Chandra.

Ternyata isinya adalah tagihan penggunaan wifi yang melampaui batas. Dan Chandra sepertinya harus membayar tagihan beserta dendanya. Jumlahnya terlihat kecil untuk seorang Chandra. Tapi Banyu paham apa yang membuat Chandra kesal.

Wifi pribadinya jelas dibobol. Untuk ukuran seseorang yang jarang membuka hape seperti Chandra, membayar ini semua pasti tetap hal yang menyebalkan.

"Gila. Bisa-bisanya wifi gua kena hack! Lo liat sendiri, Nyu! Berapa? Berapa yang harus gua bayar buat ngebiayain orang lain yang bobol wifi gua seenaknya!"

Banyu hanya bisa tersenyum kecut.

"Empat juta, bangsat!"

Banyu menghampiri Chandra dan menepuk-nepuk pundak temannya itu dengan muka tersenyum masam.

"Iya, empat juta sat. Gua tahu itu duit bukan daon mangga. Tapi, apa bobol wifi lu sih Chan? Wifi kampus kan ada?"

"Jaringan. Lo tahu sendiri gua nggak mau terkendala jaringan apapun. Bisa dibilang wifi gua seratus lima puluh persen lebih bagus dari wifi kampus. Makanya orang ini bobol wifi gua!"

"Lo punya kenalan anak IT kan? Suruh lacak aja."

Chandra tersenyum sinis.

"Udah gua suruh. Lihat aja. Sekali gua nangkep orang ini, nggak bakal gua biarin dia begitu aja. Jangankan bayar bailk duit empat juta. Gua bakal bawa ini ke pengadilan kalau bisa!"

Banyu hanya bisa merasa kasihan dengan orang yang membobol wifi pribadi Chandra. Hidupnya mungkin akan lebih sengsara.

...

A/N:

Double Up!

udah si gitu aja._.

in to The Ice Land [WRITING STOPPED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang