❄3❄

99 23 3
                                    

Deeran membuka pintu rumahnya dengan kasar. Kuliah nyatanya tidak semenyenangkan yang ia bayangkan. Dia harus ramah dengan semua orang, harus merendah didepan kakak tingkatnya, dan harus memperlihatkan bahwa dia adalah orang yang penuh dedikasi untuk berkuliah disana.

Mendadak Deeran menyesal kuliah ditempat yang sama dengan Felix. Bisa-bisanya Felix menghabiskan uangnya ditempat yang seperti istana ratu Inggris itu. Hanya dengan alasan sepele. Kampus swasta itu adalah satu-satunya kampus yang memiliki lapangan ice skating.

Deeran melemparkan tasnya asal di ruang tamu.

"Kamu tahu tata krama, Deeran. Ambil tasmu sekarang juga."

Suara itu, suara ayahnya.

Deeran mengumpat didalam hatinya, kemudian dengan malas mengambil kembali tas yang dilemparnya tadi. dalam hatinya bertanya-tanya. Kenapa ayahnya yang gila kerja bisa berada dirumah sekarang.

Tunggu. Felix sudah sampai rumah sebelum dia, kan?

"Kamu baru pulang? Gimana kuliahnya?"

"Kuliahnya seru. Tempatnya bagus."

Deeran berbohong. Berbohong tentang kuliahnya yang seru.

"Felix mana? Ayah udah dirumah dari dua puluh menit yang lalu tapi nggak liat Felix."

Sial.

Felix belum sampai rumah nyatanya.

"Kamu emangnya nggak pulang bareng dia?"

Bareng gimana. Ditungguin di audit sampe perkapnya beres-beres saja nggak dateng-dateng.

"Tadi kayaknya udah duluan sampe rumah kok, yah. Ayah udah coba cek dikamarnya? Barangkali didalem kamar, tidur."

Deeran berbohong. Lagi.

"Ayah pulang cuma buat ambil berkas. Asisten ayah ijin. Ayah belum sempat lihat Felix dikamarnya. Kamu saja yang nge-cek. Ayah harus buru-buru, harus balik kekantor lagi."

Ayahnya langsung pergi begitu saja setelah bicara seperti itu.

"Lo kali ini selamet, Lix. Tapi keberuntungan lo udah lo pakek. Lo nggak bisa selamat dikelas matematika ayah nanti."

❄❄❄

Felix berhenti didepan sebuah gedung. Gedung yang lumayan besar. Mungkin sedikit lebih luas dibandingkan stadion lapangan basket?

Felix bisa merasakan hawa dingin yang keluar dari gedung ini. Gedung ini adalah lapangan ice skating indoor. Alasan kenapa dia berdiri disini sekarang adalah karena dia tidak mau pulang lebih awal. Padahal Janu sudah menawarkan diri untuk mengantar Felix sampai dirumahnya. Tapi Felix menolak.

Dia ingin melihat tempat ini dulu sebelum pulang ke rumah yang rasanya tidak seperti rumah baginya.

Felix membuka pintunya perlahan. Hawa dingin langsung menusuk kulitnya.

Senyum kecil terukir diwajah Felix. Entah kenapa, ada rasa senang yang menyelimutinya sekarang. Rasa senang seperti bertemu teman lama yang sangat ia rindukan.

Felix melihat lapangan ice skating itu memantulkan cahaya dari lampu-lampu putih diatasnya. Felix berjalan mendekat.

Namun langkahnya terhenti saat suara alunan piano mengalun, menggema diseluruh gedung itu.

Felix melihat seseorang memasuki lapangan ice skating itu. Meluncur pelan diatas es menggunakan sepatu skating berwarna putih. Orang itu memutari lapangan ice skating beberapa kali. Melakukan pemanasan.

Ada keinginan untuk bergabung dengan orang itu di benak Felix. Baru mau melangkahkan kaki lebih dekat, tiba-tiba ia merasakan pundaknya dipegang oleh seseorang.

"Lo siapa?"

Seseorang laki-laki dengan tatapan keheranan menatapnya.

"Lo nggak liat papan di depan pintu gedung? Nggak boleh ada yang masuk kesini diatas jam empat sore."

"Angkatan atas pasti udah tahu peraturan ini. Lo anak baru?"

"Lo punya kepentingan apa disini?"

Felix tidak menjawab satu pun pertanyaan dari lelaki itu. Felix menepis tangan lelaki itu dari bahunya.

"Banyak tanya." kata Felix singkat. Lalu bergegas meninggalkan lapangan ice skating itu. Tiba-tiba saja dia teringat jika dia seharusnya sudah di rumah sekarang.

Lelaki itu tersenyum simpul melihat punggung Felix menjauh.

"Untung lo ketemunya sama gua. Lo ketemu Lino kayak gini beda lagi nanti ceritanya."

...

Felix menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Baru tadi pagi Felix memberikan nomor teleponnya pada Janu. Tapi anak itu sudah meneleponnya hampir satu jam.

"Deeran mana Deeran? Gua mau dong ngobrol sama dia."

"Nggak ada. Besok minta nomernya sendiri. Gua nggak mau harus manggil dia cuma gara-gara lo mau ngobrol sama Deeran."

"Dih. Masih kemusuhan saja sih lo sama Deeran. Baik-baik kek. Lo juga sadar kan kalo sebenernya dia tu nggak..."

"Nu, lo kalo mau ngomongin ini lebih lanjut, gua tutup telepon lo yang nggak berarti ini."

"Oke oke, jangan ditutup. Gua tu masih pengen ngobrol banyak hal sama lo."

"Mau ngobrolin apalagi sih? Kurang banyak apa lo ngobrol sama gua? Ini sudah hampir sejam, Janu!"

Keluh Felix. Janu diseberang sana hanya terkekeh.

"Gua sudah cari tahu banyak hal soal kampus kita. Lo bisa cek link yang barusan gua kirim. Dari yang ngebangun sampe cucu-cucu cicit-cicitnya lengkap. Ada sejarah. Ada semualah pokoknya."

Felix menggeleng-gelengkan kepalanya. Janu memang kurang kerjaan. Atau lebih tepatnya, dia jenius.

Felix membuka link yang dikirimkan Janu. Dan benar saja. Isinya menakjubkan.

Felix melihat foto-foto pendiri kampus dan pengelolanya, sampai matanya berhenti bergerak dan fokus pada satu foto.

Dia kan yang tadi di lapangan ice skating?

...

AN:

Kalian gimana kabarnya? Semoga selamat dan sehat selalu ya❤

Btw, mulai sekarang aku akan up lewat laptop, bukan lewat hape lagi. Ini pertama kalinya aku ngetik wp lewat laptop :" Aku nggak tahu hasilnya gimana kalau dibaca lewat hape.

Terus ada beberapa kata itu yang entah kenapa secara otomatis dibenerin langsung. Jadi kayak otomatis ngerubah ke bahasa baku begitu lah. Aku minta maaf kalau nantinya ada kata-kata yang mendadak baku disela-sela yang tidak baku :"

in to The Ice Land [WRITING STOPPED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang