❄7❄

83 24 3
                                    

Naren dan Lino sedang berada di basecamp mereka. Naren sedang asyik dengan game Online di ponselnya, sedangkan Lino sedang melamunkan sesuatu.

"No, lo gausah sok mikir deh." Suara Banyu yang ringan memecahkan lamunannya.

"Anjir lo. Gini-gini gua pinter." balas Lino.

"Sayangnya kepinteran itu harus jatuh ketangan orang kayak lo. Oh iya, denger-denger kemaren sabtu lo bunuh anak orang di lapangan skating?"

Lino langsung melemparkan benda didekatnya kearah Banyu.

"Lu kalo ngomong bisa nggak sembarangan?"

Banyu terkekeh. "Gua bercanda kali No. Naren saja nggak peduli tuh." kata Banyu sambil melirik kearah Naren yang masih sibuk sendiri.

"Lo nggak marah?" tanya Banyu. "Lo biasanya sensi banget kalau ada maba masuk lapangan lo dihari Sabtu. Yang tahun kemaren saja lu hajar abis-abisan. Tumben lo diemin?" lanjut Banyu.

Lino tersenyum sinis.

"Kata siapa gua bakal ngebiarin ini begitu aja? Gua cuma lagi nyiapin kejutan spesial buat orang itu nantinya."

...

Janu dan Fares sedang berada di kantin gedung G. Bekerja sama untuk membobol wifi-wifi dengan jaringan yang lebih bagus. Ternyata Fares juga memiliki bakat dalam bidang ini. Bahkan bisa dibilang kemampuannya melebihi Janu yang setiap hari memandangi laptopnya.

Diam-diam Janu bersyukur. Dengan ini, dia bisa lebih mengakrabkan diri dengan Fares yang memberikan kesan antis diawal.

"Lo salah. Karena angka itu cuma ada nol sampai sembilan, kombinasi kodenya nggak mungkin kayak yang lo masukin barusan." kata Fares sambil membenahi kode yang sudah dimasukkan Janu ke laptopnya.

"Res,"

"Kenapa?"

"Gua makin sayang deh sama lo."

"Najis."

Janu terkekeh. "Kita kayaknya bisa jadi duo deh." candanya.

"Duo duo, gua penganut aliran individualisme."

Janu tidak dapat menggodanya lagi.

"Heh, ini bukan gedung fakutas kalian."

Janu menghentikan pekerjaannya, mencari orang dibalik suara barusan. Seorang laki-laki dengan kemeja putih sudah ada dihadapannya dan Fares. Janu melirik Fares. Dia masih sibuk membuat formula-formula baru di laptopnya.

"Kita cuma numpang ngerjain tugas kok." Janu mencoba menimpali orang itu.

"Lo nggak bisa begitu ngerjain tugas ditempat lain? Gua mau makan disini."

Janu memutar bola matanya tidak percaya. Bagaimana bisa orang ini mau makan ditempat mereka sedangkan tempat lain masih kosong? Sudah jelas hanya mencari gara-gara.

"Kenapa? Kalian masih nggak mau pindah tempat? Kan gua sudah bilang dengan jelas kalau gua mau makan disini!"

BRAK!

Suara gebrakan meja membuat Janu dan orang itu terkejut. Ternyata Fares yang melakukannya. Tangannya menutup laptop dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras.

Fares terlihat sangat muak. Dia memainkan bolpoint ditangannya. Berjalan menghadap orang berkemeja putih itu.

Fares meletakkan ujung bolpointnya ke bahu orang itu.

"Lo pikir, dengan gertakan lo barusan kita bakal takut? Bakal langsung nurutin kemauan lo yang nggak masuk akal? Lo nggak bisa liat? Meja kantin nggak cuma yang kita tempatin. Lo kalau nggak makan ditempat ini memang kenapa? Bisulan langsung pantat lo, ha?"

Janu mengaga tidak percaya. Seorang Fares bisa mengatakan hal seperti ini. Dia bertepuk tangan didalam hati.

Orang itu tampak geram. Dia menampik bolpoint Fares.

"Gua mau ngasih tahu satu hal penting, anak baru. Nama gua Naren Oktarian. Gua ketua ekskul basket disini. Gua harap kalian berdua punya waktu luang sehabis kuliah. Gua tunggu kalian di lapangan basket."

...

Felix memakai jaketnya setelah mata kuliahnya usai. Badannya masih sedikit menggigil hari ini.

Tiba-tiba pintu kelasnya digebrak, ada seseorang yang masuk dengan kasar.

Seorang laki-laki dengan kaos hitam mendatanginya. Entah kenapa tidak ada rasa takut sedikit pun dihati Felix.

"Lo,"

Felix mengangkat satu alisnya.

"Gua?"

"Lo yang ngotorin lapangan skating gua."

Felix menatap orang itu dengan kebingungan. Ngotorin? Lapangan Skating? Maksudnya apa sih?

"Gua kasih tahu satu peraturan penting dikampus ini. Hari Sabtu. Nggak boleh ada satu orang pun yang nginjekin kaki mereka di lapangan skating gua."

Felix tersenyum meremehkan.

"Lo pikir lapangan itu punya lo? Lo pikir gua kuliah disini nggak pakek uang? Apa gua nggak boleh nikmatin fasilitas kampus ini karena lo seorang?"

Orang itu malah terkekeh ringan. Dia berjalan mendekati Felix, membuat Felix otomatis berjalan mundur sampai badannya membentur tembok. Felix terpojok.

"Iya. lapangan skating itu punya gua. Kellino Putra."

in to The Ice Land [WRITING STOPPED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang