kedua puluh delapan

182 37 7
                                    


Setelah sampai di kediaman Konan, Naru langsung menghambur begitu saja tanpa meminta izin atau basa-basi dengan menggunakan kesopanannya. Ia bahkan juga meninggalkan Kushina yang sibuk memarkirkan kendaraan di tempat yang sekiranya pas dan tak mengganggu sang pemilik kediaman. Ia seakan terkejar waktu, karena disini yang tengah di pertaruhkan di tiap detiknya adalah nyawa tunangannya.

"Konan-nee!" ujarnya dengan sedikit berteriak saat ia melewati pintu utama dan mendapati sosok Konan tengah berdiri dengan beberapa orang duduk di masing-masing tempat di sofa ruang tamu itu.

"Kami sudah menunggu mu. Duduklah!" perintah Konan. Naru mengedarkan pandangannya dan mendapati satu buah kursi kosong seakan kursi terakhir itu memang di khususkan untuknya. Naru hanya bisa pasrah saja dan enggan melontarkan pertanyaan meski sebenarnya banyak hal yang ingin ia tanyakan.

"Naru-chan sudah di sini, dan ku rasa otou-san harus segera mengatakan kepada kami tentang apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan Davian."

Sosok yang di panggil ayah oleh Konan itu menghela nafas kasar seolah ingin menghilangkan beban besar yang kini ia pikul. Ia tahu, hal ini cepat atau lambat akan terjadi dan tentu ia tak ingin gegabah dengan mengambil keputusan sendiri tanpa beberapa orang yang seharusnya menambah masukan untuk jalannya rencana ini. Ia akui, meski Konan perempuan, tapi jiwa kepemimpinan anak sulungnya itu tak bisa diremehkan. Dan meski anak keduanya seorang male-omega, ia juga tak malu akan hal itu. Karena berkat Davian lah ia bisa sampai ke tahap ini. Memang, tak akan ada yang sempurna di dunia ini dan ia yakin akan hal itu. Di balik kelemahan fisik Davian, nyatanya pemuda itu memiliki kelebihan yang sangat jarang dimiliki. Bahkan oleh makhluk seperti mereka.

Dengan menghela napas dalam-dalam, pria yang berusia lebih tua dari wajahnya itu seakan tengah mencoba menyusun kata-kata yang di rasanya akan pas untuk ia keluarkan nanti dan berusaha tidak menyakiti sosok yang di cintai putranya itu. Ia tahu, kemungkinan besar nanti ucapannya bisa membuat luka di hati Deltha yang baru datang itu. Namun apa boleh buat, ia harus mengatakan semua kebenarannya. Bahkan dengan segala resiko yang akan mengikutinya nanti.

"Davian di culik."

Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya. Ia belum sanggup untuk melanjutkan kata-kata selanjutnya. Namun Naru telah mengeluarkan kata-katanya terlebih dahulu.

"Aku sudah tahu. Dan bukan hal itu yang ingin ku dengar lagi saat aku sampai disini." Sarkasnya.

"Anak muda, setidaknya biarkan aku melanjutkan perkataanku. Tidakkah itu tindakan tidak sopan yang kau lakukan untuk calon ayah mertuamu?"

Wajah Naru memerah karena malu. Ia tak menyangka jika dirinya akan disinggung mengenai hal itu. Dan apa-apaan itu?

Calon mertua?

Ya Tuhan, mengapa ia di ingatkan akan hal ini di saat mencekam seperti ini?

"Setidaknya duduklah dulu. Kita memiliki beberapa waktu sebelum bertindak."

"Bagaimana bisa aku duduk tenang sedang di luar sana, aku bahkan tidak mengetahui mate ku baik-baik saja atau tidak?"

Untuk kali ini, Naru seolah-olah bertanya-tanya bagaimana bisa ayah dari dari seorang yang tengah di culik kini berkata dengan sebegitu santainya. Apakah ada yang terlewat darinya?

Ah, ia lupa.

Ia bahkan tak tahu banyak tentang mate-nya itu.

Namun meski memendam rasa jengkel pada orang yang baru saja menyebut dirinya calon mertua Naru itu, ia tetap mengikuti perkataannya dengan mulai duduk di tempat yang seolah memang tersedia untuknya.

Naru wolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang