"Kita sama-sama sedang berlari, mari duduk di sini sebentar, beristirahat, dan temui darimana kamu berasal dan siapa yang memberi banyak dorongan."----
Anara melambaikan tangannya pada Ian yang juga melambai dari depan rumahnya. Setelah itu, motor dengan seorang pengendara dan seorang penumpang berhenti di depannya. Anara menoleh, tersenyum pada Hanan yang tersenyum setelah membuka helmnya dan menerima helm yang tadi di pakai Aruna."Thanks. Besok aku pake helm-ku aja," ujar Aruna yang dijawab enggukan oleh Hanan. Setelah itu, Hanan pamit.
Ian sudah masuk melewati gerbang rumahnya, tersisa Aruna dan Anara yang belum benar-benar menyelesaikan masalahnya yang kemarin. Aruna memang sudah meminta maaf, namun rasa bersalahnya belum hilang sepenuhnya, bahkan sebagian dari dirinya masih menyimpan rasa aneh yang membuat Aruna berpikir ia terlalu buruk untuk menjadi saudara kembar Anara. Bukan karena kata-kata tidak mengenakannya kemarin, namun berdasarkan apa yang dikatakan orang-orang mengenai ia dan Anara.
Anara sendiri tidak benar-benar marah, namun ia tidak tau harus berkata apa untuk mencairkan suasana yang membeku sejak kemarin. Ia tidak mau secara tidak sengaja membahas masalah itu lagi. Mungkin mereka hanya akan diam dan masuk ke kamar masing-masing, sebelum Devano membuka pintu rumah dan menatap dua adiknya yang hanya bungkam dan saling berhadapan.
"Ngapain bengong di sana? Masuk, gih," setelah mengatakan itu, Devano malah mengambil sandal di rak dan berjalan melewati dua adiknya.
"Mau kemana?"
"Ke warung, nitip ga?" Aruna dan Anara kompak menjawab dengan gelengan, sebelum kemudian masuk rumah dengan bersamaan.
----
"Udah pulang?"
Pertanyaan yang keluar dari seorang laki-laki dengan pakaian rapi itu membuat Anara dan Aruna membeku, diam di tempatnya. Namun, langkah mereka berdua tiba-tiba melaju cepat setelah diam selama beberapa detik. Aruna dan Anara kompak memeluk laki-laki itu, sudah lupa kalau ada dinding beku yang belum berhasil mereka pecahkan sejak kemarin.
"Ayah kapan pulang? Ih kok ga ngabarin?" Aruna menjatuhkan dua pertanyaan, disusul Anara, "Ibun mana? Masih di butik? Ayah ngabarin Ibun dong pasti?"
"Ibun udah pulang kok, ayo makan bareng," kalimat yang terlontar dari perempuan yang berjalan dari arah dapur membuat Aruna tersenyum, "yuk, bun. Aruna naruh tas sama ganti baju dulu,"
Anara ikut pamit dan mengikuti Aruna yang sudah berjalan lebih dulu, memasuki kamar mereka masing-masing.
----
"Anara udahan dulu ngerjain soalnya, Aruna juga buruan turun!" Devano berteriak di depan kamar mereka, namun dua gadis itu belum juga membuka pintu, membuat Devano menetuk dua pintu itu bergantian."Heh kalian ngapain sih?" Tanyanya lagi dengan suara yang lebih keras.
Dua pintu itu dibuka bersamaan, membuat Devano menarik senyumnya, "kompak amat kalian, yaudah makan malam dulu itu ditunggu," setelah itu Devano kembali membawa langkahnya turun ke ruang makan, meninggalkan kedua adiknya yang kembali bertatapan dalam hening.
Aruna diam, sejujurnya menunggu Anara berjalan lebih dulu karena pintu kamarnya lebih dekat dengan tangga. Namun, yang ditunggu malah diam memperhatikannya juga. Aruna tidak bisa untuk tidak bertanya pada batinnya sendiri, berharap bahwa keadaan mereka baik-baik saja, terlebih setelah kalimat yang ia lontarkan ketika Anara menemuinya sepulang dari mengikuti olimpiade.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanodya
Teen FictionBagi Anara, Aruna itu luar biasa. Baik parasnya, bakatnya, maupun sikapnya itu melebihi kriteria sangat baik. Aruna itu nyaris sempurna, punya banyak hal yang ia tidak punya. Terlalu berat untuk menjadi seperti Aruna. Bagi Aruna, ia terlalu lemah u...