16. Wanodya

7 1 0
                                    


"Setiap remaja memiliki karakter yang berbeda, mengahadapi masalah yang berbeda, dan punya cara berpikir yang berbeda."

-----


Malam itu Anara tidak ingin menyelesaikan soal-soal fisika dulu. Sudah terlalu lama ia mematung di sana, berpikir apa yang ia lakukan malam ini. Sabtu malam di mana orang-orang meramaikan jalanan, namun Anara memilih diam di kamar walaupun buku latihan soalnya sudah tertutup. Ia melihat koleksi novelnya, yang sebenarnya sudah habis dibaca semua, dan berakhir urung.

Suara musik terdengar dari kamar sebelah, kamar milik Aruna. Langkah Anara dibawa ke sana, membuka pintu perlahan namun ternyata tetap menjadi distraksi bagi si pemilik kamar yang baru saja berdiri. Akhirnya Anara membuka pintu itu lebar dan duduk di karpet milik Aruna, kemudian mengambil asal komik koleksi saudara kembarnya.

"Kenapa? Ganggu ya suaranya?"

Anara menggeleng, "nggak kok. Emang lagi ga pengen ngerjain soal dulu, bosen."

"Bisa bosen juga ternyata," ledek Aruna kemudian melanjutkan aktivitasnya tanpa memedulikan Anara, karena gadis itu juga sedang membaca dengan serius.

Anara memang menghadap komik, namun pikirannya berlarian, antara olimpiadenya dengan ucapan Ian sore tadi. Ternyata masalah yang dihadapinya tidak hanya mengenai nilai, usaha, atau perselisihannya dengan Aruna, tapi juga soal perasaan. Masalah yang satu ini yang Anara belum mengertilah penyelesaiannya.

Aruna sendiri memang benar-benar menikmati kegiatan yang ia lakukan, sampai-sampai mengabaikan dunia yang lainnya. Aruna tidak ingin dulu memikirkan banyak masalah, apalagi setelah pencapaian yang ia raih. Namun, fokusnya terbelah setelah sang saudara memanggil namanya.

"Kenapa?"

Anara menggeleng, tidak jadi menyampaikan pertanyaannya.

"Ish, nyebelin."

"Lagian bingung akunya juga."

"Masalah apa?" Aruna kini hanya menonton video yang ia pilih, tidak lagi mengikuti gerakannya.

"Ah gatau bingung ga jadi," Anara menutup wajahnya dengan buku, ribut sendiri mengingat kalimat Ian tadi.

"Yaudah kalau gitu aku yang cerita."

Aruna mematikan ponselnya, memulai cerita yang terjadi sejak mereka saling diam secara tidak sengaja. Tentang surat yang berakhir menyebalkan dan mendapat respon lucu dari Anara. Gadis itu mengomel untuk si pengirim surat meskipun yang di depannya Aruna, namun langsung menciut ketika Aruna beri tau siapa pengirimnya. Aruna menceritakan tentang Hanan, tentang pertolongannya, dan apapun yang ia terima darinya. Aruna menceritakan tentang latihannya, tentang riasan yang menjadi incarannya, tentang banyak hal.

Melihat Anara di depannya, Aruna kembali memikirkan masalah yang lalu.

"Nar, salah ga sih kalo misalkan nilai aku sedikit A nya?"

"Siapa yang bilang salah? Kan kemampuan orang beda-beda. Yang penting di atas KKM aja. Sesuain sama target kamu karena target orang beda-beda."

Setiap orang itu berbeda, baik targetnya, tujuannya, bakatnya, mimpinya, dan keinginannya. Anara tidak bisa memaksa Aruna untuk suka biskuit juga, begitupun Aruna tidak bisa memaksa saudara kembarnya untuk menyukai apa yang ia suka.

"Kadang mikir ga sih? Kita itu dua orang, beda. Kayak, kenapa orang terus ngebandingin kita terus bilang aku harus kayak kamu di bagian a, b, c, kamu harus kayak aku. Kayak apa, ya? Sebel gitu," Anara ikut mengeluarkan perasaan tidak sukanya.

Aruna hanya mengangguk setuju, menghabiskan sisa malam itu dengan diskusi-diskusi bersama Anara. Mereka memang seperti itu, dua kutub berbeda yang saling terhubung, saling mendukung, dan saling menolong. Mereka ada dua hal berbeda yang terlihat mirip, namun sebenarnya yang sama hanyalah keinginan yang kuat untuk mengejar mimpi.

Hal sama lainnya, mereka adalah dua gadis remaja yang sama-sama menemukan hal menyenangkan juga masalah baru untuk di selesaikan. Meskipun, masalah yang dihadapinya berbeda.

"Runa."

"Apa?"

"Tadi Ian bilang, dia mikir. Mikir kalo misalkan sebenernya dia itu maunya lebih dari sekadar temen buat aku," jelas Anara.

"HAH? YAKIN?" Dan diskusi itu ditutup dengan sesi curhat antara saudara kembar yang terasa seperti teman, diakhiri dengan masalah remaja tentang jatuh cinta. Tidak peduli bagaimana cara menyelesaikannya karena mereka punya caranya masing-masing, yang penting ada tempat untuk berbagi cerita.

Bagi mereka, dunia ini memang menyebalkan. Membuat perasaan tidak nyaman dan ingin mundur itu perlakuan yang sering ditemukan, namun bagi mereka, selalu ada rumah untuk pulang dan selalu ada jalan untuk bersinar. Jalan yang berbeda untuk masing-masing orang.

----

Wanodya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang