"Apa memang kisah remaja identik dengan yang namanya jatuh cinta?"-----
"Udah ah, Yan. Pusing juga lama-lama."Siang itu, lumayan teduh di teras kediaman Anara. Ian terkekeh setelah mendengar ucapan Anara tadi, ia juga lelah setelah mendiskusikan beberapa soal fisika. Natya yang juga ikut serta di sana bahkan sudah merapihkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Nar, aku duluan ya. Udah ditanyain mama. Mau ada acara katanya, hehe," Ia tersenyum kemudian berdiri.
"Naik apa?"
"Ojek online, biasa."
Siang itu dianggap selesai setelah Natya pamit dan pulang dengan ojek online yang ia pesan. Namun, Ian masih di sana dan memakan beberapa biskuit coklat Anara yang juga disuguhkan. Sebenarnya, tadi Aya juga hadir karena bosan di rumah sendirian, namun gadis itu kini dibawa Aruna dan Kian yang juga sedang main ke kamar Aruna, membicarakan grup kesukaan mereka yang ternyata sama. Sekarang, hanya ada Anara dan Ian yang sedang mengecek ponsel masing-masing.
Hari ini adalah beberapa hari setelah diumumkannya peserta yang lolos ke tahap selanjutnya. Mereka bertiga, perwakilan dari sekolah mereka, berhasil lolos ke tahap tersebut. Hari ini juga berarti beberapa hari menjelang kembali bertarung dengan soal-soal dari sana, membuat mereka memutuskan untuk belajar bersama seperti ini. Ini juga karena mereka yang terlalu bosan dengan perpustakaan sekolah yang dikunjungi hampir setiap hari.
Anara menandaskan minuman di gelasnya, memandang ke arah langit yang sedang biru-birunya, cukup teduh namun tidak mendung. Matahari sedang tidak terik, namun beberapa lembar soal tadi cukup membuatnya merasa gerah. Ditengoknya Ian yang sesekali masih membuka soal.
Anara mengambil lembaran soal yang sudah dicoret itu, "udah, Ian. Pusing ah, nanti lagi. Lagian Natya udah pulang."
"Iya, Anara. Tau kok. Ini mau diberesin."
"Tapi masih diliat."
"Penasaran," Ian tersenyum setelah itu, manis.
Anara tidak sadar bahwa sejak tadi matanya tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik teman sekaligus tetangga dan partner nya. Ia sudah mengenal Ian dan bisa dibilang menjadi sahabatnya sejak duduk di sekolah dasar. Mereka terbiasa belajar, bermain, pulang sekolah, atau bahkan sekarang pergi bersama. Pemandangan mereka yang terlihat hampir setiap hari bersama juga sudah biasa terpampang sejak mereka duduk di sekolah dasar, membuat Anara terbiasa pergi dan meminta bantuan kepada Ian yang dekat dengannya.
Tapi Anara tidak tau sejak kapan ada yang berbeda.
"Mikirin apa sih? Bengong aja!"
Anara mengembalikan fokusnya yang sempat terbuang, tersenyum singkat sebelum menggeleng.
"Ga lagi overthinking kan?"
"Sejak kapan aku suka overthinking? Nggak ah."
"Yakin?" Pertanyaan yang disampaikan dengan wajah agak meledek itu dijawab anggukan yakin oleh Anara. Si pemberi pertanyaan pun tersenyum, lagi. Manis.
"Keren ya kita lolos," ujar Anara sambil tersenyum lebar, entah karena semangatnya mengikuti olimpiade lagi atau karena seseorang yang ada dihadapannya ini.
Anara menganggap Ian adalah temannya yang sangat dekat, ditambah mereka juga sama-sama sering mengikuti olimpiade fisika. Bahkan, bisa disebut sahabat. Namun bagi Anara sekarang, ada rasa yang lain ketika melihat senyum itu. Senyum milik Ian. Ia bahkan tidak tau juga kenapa harus terjebak dalam perasaan semacam ini, namun ia sudah lelah menyangkalnya.
Ian menoleh ke arah Anara, "iyalah keren."
"Ga usah sombong."
Ian terkekeh lagi, membuat Anara kesal dan menepuk bahunya, namun tidak keras. Ian dapat lihat bahwa Anara senang berada di posisi ini.
"Seneng banget, kayaknya?" Pertanyaan itu mendapat anggukan dari Anara, "iyalah seneng."
"Dari dulu pengen banget menang olim kayak gini, akhirnya semakin lama makin banyak dapet juara. Dulu suka iri kalo Runa abis menang lomba," lanjut Anara.
Ian menatap Aruna dengan tatapan... Kagum? "Sekarang udah banyak, kan hasilnya?" Anara jawab dengan anggukan.
Ian mengenal Anara sejak duduk di sekolah dasar, sejak gadis yang dulunya suka dikuncir dua itu menyukai buku pelajarannya. Ian mengenal Anara sejak ia bertemu dengan gadis kecil yang belajar sendiri di teras rumahnya. Anara mengenal Ian semenjak ia bermain bersama, hingga Anara bercerita soal pertanyaannya yang sangat banyak. Soal pelajaran, soal rasa irinya ketika melihat kedua orang tuanya tersenyum bangga saat Aruna mendapatkan piala-pialanya.
"Nara ga bisa kayak Runa. Tapi Nara juga mau dapet piala."
"Mungkin bukan bakat Nara, mungkin bakat Nara di tempat lain. Misalnya Nara pinter IPA sama Matematika, kan?"
Kalimat itu Anara dengar dari Ian saat duduk di kelas empat sekolah dasar. Pertama memang hanya Ian yang ia beri tau soal itu, sebelum memberanikan diri berbicara pada Devano yang selalu bertanya-tanya soal sikap pendiam Anara yang muncul tiba-tiba.
Bagi Anara, mengenal seseorang seperti Ian itu luar biasa. Ian bukan hanya teman belajarnya, tapi teman bercerita, teman pulang bersama, teman yang sudah mengenal seluk-beluk Anara.
"Nar, boleh nanya sesuatu ga?" Akhirnya ada pertanyaan yang membuyarkan Anara dari lamunannya (lagi). Anara mengangguk dan mengatur posisinya menghadap Anara.
"Kamu pernah mikir ga, Nar?"
"Mikir apa?"
"Ada rasa yang bisa dibilang, I want to more than just a friends to you."
Anara dibungkam dengan pernyataan itu, di teras rumahnya. Anara tidak tau apa yang laki-laki itu pikirkan. Ibun ada di dalam begitu juga Devano. Selain itu ada Aya, Aruna, dan Kian. Anara tidak tau apa yang Ian pikirkan untuk mengatakan itu. Anara tidak tau, ia bingung.
"Ga usah dipikirin. Kalo bikin pusing. Fokus olim saja ujian akhir semester ini aja dulu. Maaf banget malah pake bahas yang kayak gini di saat mau olim."
Anara menggeleng, Ian tidak salah.
Salah ga sih kalo sebenernya aku selama ini juga ada rasa sama dia secara diam-diam?
Lagian dia itu...
Gatau ah pusing.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanodya
Teen FictionBagi Anara, Aruna itu luar biasa. Baik parasnya, bakatnya, maupun sikapnya itu melebihi kriteria sangat baik. Aruna itu nyaris sempurna, punya banyak hal yang ia tidak punya. Terlalu berat untuk menjadi seperti Aruna. Bagi Aruna, ia terlalu lemah u...