"Bahkan pemain yang sama menjadi berbeda di film yang berbeda."----
Anara tidak tau kalau waktu berjalan terlalu cepat, Anara tidak sadar bahwa jarak antara pengumuman lolos seleksi dan hari perlombaan tahap pertama hanya satu minggu. Anara terlalu banyak memikirkan soal yang kemarin-kemarin, sudahlah, Anara rasanya mau meledak memikirkan hal yang sepantasnya memang tidak terus dipertanyakan oleh dirinya. Hari sabtu, sejak pukul enam pagi Anara sudah berkumpul bersama teman lainnya, baik untuk olimpiade di bidang fisika maupun bidang sains lainnya."Siap Nar? Ah Anara mah siap selalu, ya ga?" Natya, salah satu tim olimpiade fisika bertanya sebuah pertanyaan yang membuat Anara menggelengkan kepalanya.
Anara tidak sesiap kelihatannya, ia tidak mau membuka buku karena membuat fokusnya buyar dan panik. Anara tidak sesiap kelihatannya, Anara tidak belajar sebanyak teman-temannya yang lain. Satu hal yang membuat Anara yakin hanyalah karena ia senang melakukannya, fisika sudah bersahabat dengannya, ia melakukannya dengan hati dan niat yang baik, juga semangat dari anggota keluarganya yang membuat Anara tidak pesimis.
Untuk apa pesimis? Bahkan Anara sudah memenangkan olimpiade lebih dari dua atau tiga kali selama masa sekolahnya. Tapi bukan itu yang membuat Anara bisa tenang dan tidak merapalkan rumus secara terus menerus. Bagi Anara, mengerti bagaimana mencari jalan keluar itu cukup, bisa tidaknya nanti, tinggal tunggu soalnya.
Anara sudah terbiasa mengerjakan soal, seperti teman yang mengenal ciri khas dan karakteristik. Anara tidak akan menghafal puluhan rumus yang kata orang menyebalkan, karena seperti hidup, soal fisika juga bekerja seperti itu. Ketika sering menemuinya kita akan mengenalnya, ketika kita pernah menemuinya kita akan tau bagaimana harus bersikap.
Hidup dan soal fisika itu kurang lebih sama, intinya soal mengenal dan menyelesaikan masalah, juga belajar dari pengalaman. Bedanya, dalam hidup tidak selalu sesuai dengan prosedur dimana ketika menyelesaikan satu masalah bisa langsung lanjut ke masalah lainnya. Karena, dalam hidup kita tidak berjalan sendiri di satu dunia seperti satu soal, namun saling berkaitan. Sedikit perjalanan hidup dari soal fisika yang Anara pelajari ketika ia merasa jenuh melihat angka-angka di soal.
Anara menoleh ke arah Ian yang sejak tadi sibuk sendiri dengan ponselnya. Ia sudah tau, paling Ian sibuk mengobrol di grup bersama teman-temannya yang pernah diperlihatkan pada Anara.
Gimana bisa sesantai Ian tapi juga sesiap Natya?
Kadang Anara hanya tidak tau sampai mana kemampuan dirinya, stuck di fase takut akan kegagalan. Tapi kata Ibun, "Ibun ga peduli Anara menang atau ngga, asalkan Anara udah maju dan berusaha aja Ibun bangga liatnya,"
Kata Ibun, melihat Anara yang memeluk buku latihan soal setiap hari saja sudah keren, apalagi dengar cerita tetangga yang katanya anak mereka mengabaikan buku pelajaran sekolahnya. Sebenarnya untuk Anara, Ibun memang suka begitu, tersenyum karena hal-hal sederhana yang dilakukan anak-anaknya.
"Ke aula yuk, opening ceremony- nya sebentar lagi mulai," Ian berdiri setelah mengakhiri kalimatnya.
Natya dan Anara berjalan mengekor, membiarkan langkah cepat laki-laki itu menapaki lapangan menuju bagian paling timur gedung sekolah itu, aula.
----
"Susah banget ga sih?" Natya membuka obrolan di kantin, setelah mengerjakan soal yang dilakukan secara individu tadi.
Anara mengangguk, "entah angkanya jelek entah aku yang emang lagu ngantuk tapi ribet banget tadi tuh,"
"Iya," Natya mengangguk lagi, "beberapa soal aku bingung mana pake nge-blank segala,"
"Wajar tiba-tiba lupa pas lagi ngerjain tuh, apalagi kalo panik,"
Ian tidak ikut pada obrolan itu, untuk Anara pemandangan seperti itu sudah biasa. Ah, paling sedang sibuk dengan obrolannya di grup.
Anara membawa Natya untuk membeli minuman. Dari tadi Anara sudah haus, namun melihat antrian yang ramai lebih baik menundanya dan menunggu sambil duduk. Sambil berdiri di belakang beberapa orang yang masih menunggu pesanannya, Anara mengingat lagi jawabannya.
Bener kan ya aku jawabnya?
Sebenarnya bukan karena Anara yang terlalu takut akan kekalahan yang menanti, tapi karena Anara tau ada banyak orang yang menunggu mereka membawa medali.
----
"Anara pulang," ujarnya setelah mengucapkan salam dan berjalan ke arah ruang makan. Di sana Devano sedang membuat mi instan dan Aruna, Anara tau dia pasti di kamarnya seusai latihan untuk dance competition beberapa minggu lagi.
"Gimana, Nar?"
"Ya gitu. Emang menurut Kak Dev gimana?"
Devano sedikit terkekeh, "kayaknya soal fisika tuh udah jadi separuh dunia kamu, tapi olim fisika kayak mengepul banget,"
"Ya beda dong, kan kalo aku ngerjain tuh mau salah berapa juga asal ketemu jawaban benernya yaudah. Ini tuh beda, mana bawa nama sekolah, kan."
"Ya keren dong malah, udah sana mending mandi, bau."
Anara mengambil dua keping biskuit coklat kemudian berjalan ke kamarnya. Sebelum itu, diintipnya dahulu kamar Aruna yang biasanya memang tidak tertutup rapat ketika ia tidak melakukan apapun. Terdengar langkah menghampiri pintu, itu Aruna.
"Udah selesai?" Aruna menatap Anara yang masih dengan seragam putih-abunya.
Anara mengangguk, ia bertanya sebaliknya tentang latihan Aruna.
"Aku mau cape sampe gimana pun juga orang nanyanya, 'bukannya belajar biar kayak adeknya malah latihan-latihan dance gitu. Nanti ga bisa masuk univ yang sama aja' gitu kan?"
Anara bergeming di tempatnya, "kan mereka gak tau kamu ada kompetisi, Run."
"Ya kamu juga ga pernah denger omongan kayak gitu, kan?"
Pintu ditutup.
Anara baru pamit dari soal fisika, lalu Aruna menjadi aneh. Anara memang tau Aruna sering seperti itu, mendapat omongan tidak enak dan dikomentari kegiatannya. Tapi, Anara merasa ini bukan Aruna karena ketika gadis itu muak dengan semua komentar itu ia akan membuka obrolan dengan Anara maupun Devano.
Salah aku di bagian mananya sih?
Apa salah jadi kayak gini?
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanodya
Fiksi RemajaBagi Anara, Aruna itu luar biasa. Baik parasnya, bakatnya, maupun sikapnya itu melebihi kriteria sangat baik. Aruna itu nyaris sempurna, punya banyak hal yang ia tidak punya. Terlalu berat untuk menjadi seperti Aruna. Bagi Aruna, ia terlalu lemah u...