"Setiap permasalahan yang berbeda rumusnya juga tidak sama."
- Anara Rembulan Natawijaya----
Anara menguncir rambutnya asal dalam perjalanan ke perpustakaan. Besok ada ulangan harian, lusa ada seleksi untuk mengikuti olimpiade sains di bidang fisika. Sepatu hitamnya mengetuk lantai cukup keras dan langkahnya terbilang cepat. Berkali-kali notifikasi di ponselnya berbunyi, membuat gadis itu memacu langkahnya semakin cepat.Anara membuka pintu perpustakaan ketika sampai, mencium wangi pengharum ruangan dan wangi buku-buku kesukaannya. Setelah itu, matanya mengelilingi seluruh ruangan, mencari seseorang yang dicarinya.
Gadis itu membuka ponselnya.
Ian
Meja deket jendela
Dari pintu ke arah kananMelihat pesan itu, ia membawa langkahnya ke sana.
"Lama banget?" Seorang siswa membuka suaranya.
"Piket dulu, maaf lama," ujarnya kemudian duduk dan mengeluarkan buku dan beberapa kertas.
"Eh, aku ambil buku dulu, tunggu bentar," usai berkata demikian, Anara melangkahkan kakinya ke rak-rak buku di sana.
Tempat tujuan Anara setiap pulang sekolah selalu sama, perpustakaan sekolah. Kalau tidak ya, rumah Aya. Siang ini, Anara hanya menemui Ian. Revian Arjuna, atau biasa dipanggil Ian, tetangga Anara dan teman belajarnya. Mereka beberapa kali ikut olimpiade bersama, menjadi partner, dan sering menduduki peringkat atas dengan posisi atas-bawah. Sedangkan Nayanika Wulandari, biasa dipanggil Aya. Teman Anara juga, selalu satu kelas. Sayangnya, anggota OSIS itu harus mengikuti rapat yang Anara juga tidak tau akan membahas apa.
Teman Anara tidak banyak walaupun banyak yang mengenalnya. Satu lagi, biskuit coklat. Rasanya tidak lengkap hidupnya tanpa biskuit coklat, kemana pun dan dimana pun ada Anara, maka biskuit coklat ada di sana.
Anara kembali ke kursinya setelah mengambil buku. Ian sudah sibuk dengan soal-soal di sana, sedangkan Anara baru saja membuka lembar pertama.
"Pulangnya jangan sore-sore, aku mau ke minimarket dulu,"
"Beli biskuit coklat?" Pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Anara.
----
Anara membuka pintu rumahnya, tidak ada orang. Ia melangkahkan kakinya ke dapur dan mengambil toples untuk beberapa bungkus biskuit coklat yang ia bawa. Setelah itu, ia melangkah ke kamar dan melempar ransel biru tuanya ke atas kasur. Siang itu sangat panas, dan kepalanya mungkin sudah mengepulkan asap. Ditambah mengerjakan soal yang tingkat kesulitannya cukup menjadi beban seseorang yang mengerjakannya.
Ponselnya berdering, nama Aruna tertera di sana.
"Halo, Run?"
"Udah pulang, kamu?" Tanya yang di seberang sana. Anara mendengar suara nafas dari lawan bicaranya.
"Udah. Baru kelar latihan?"
"Iya. Pulang bentar lagi paling. Di rumah ada makanan apa? Selain biskuit coklat loh ya,"
Anara sedikit tertawa, siapa juga yang mau makan malam hanya dengan biskuit coklat? Lagipula Anara tidak akan tinggal diam jika biskuit coklatnya dihabiskan dalam waktu satu malam.
"Ibun ada masak ayam kecap. Tapi ibunnya belum pulang juga, atau ga nanti kamu titip Kak Dev aja deh buru pulang sendirian ini aku,"
"Kayak anak kecil aja takut. Udah aku jalan nih. Kumatiin ya,"
"Heem, hati-hati," jawabnya kemudian melepas ponselnya dari telinga.
Anara merebahkan tubuhnya di kasur dengan sprei biru muda polos. Lelah ya jadi Aruna?
Aruna, saudara kembar Anara. Hubungan mereka bisa dibilang cukup baik, abaikan saja kekacauan di kamar karena barang yang terbawa, rebutan kue, dan urusan pinjam meminjam barang, mereka tidak pernah bertengkar secara serius. Anara menganggap Aruna adalah salah satu hal terpenting yang harus dijaga, menganggap sebagian hidupnya juga terbawa ke sana. Aruna bukan saingan, Aruna adalah dirinya dengan versi lain. Dirinya yang benci fisika, dirinya yang pandai menari, menyanyi, dan memainkan alat musik.
Kalau seperti ini kan, lagi-lagi yang ia miliki di rumah hanyalah Aruna. Ibun, begitu mereka biasa memanggil sang ibunda, kerja di butik bisa sampai malam. Kak Dev, terlebih lagi, sudah harus menyelesaikan kuliahnya, pun beberapa kali ikut manggung bersama band yang dibangun bersama teman-temannya sejak SMA. Itu hobi sang kakak sekaligus cara untuk dapat uang jajan tambahan. Anara tidak pernah protes, karena terkadang dari sana pula sang kakak membelikan biskuit coklat favorit Anara dan yogurt untuk Aruna.
Bagi Anara hidupnya tidak terlalu keras, mungkin hidup yang dijalani Ibun dan Kak Dev jauh lebih sulit dari soal fisikanya. Mau bagaimana, Anara bisa dibilang sudah bucin sama soal fisika. Mau diapakan juga ia akan mengerjakannya, mau untuk lomba atau tidak ia akan mengerjakannya, dan ketika sudah bosan dengan sang fisika, Anara akan merusuh di kamar Aruna dan mengacak-acak koleksi komiknya.
Anara juga manusia, Anara bukan seperti yang terlihat. Anara bukan siswi ambisius yang terus mengejar nilai dan juara olimpiade, Anara melakukan itu karena itu hal yang bisa ia lakukan di masa sekolahnya. Anara tidak minat pulang sampai sore karena rapat dan mengurus acara OSIS, Anara tidak minat terlalu lelah dan berkeringat karena latihan dance, Anara juga tidak memiliki suara merdu untuk bernyanyi di atas panggung.
Anara melakukan itu karena fisika sudah menjadi sebagian dari hidupnya semenjak sekolah menengah pertama. Anara melakukan itu karena dirinya senang untuk melakukannya. Anara senang melakukan itu karena Anara benci pelajaran olahraga, karena Anara tidak suka panas-panasan, dan karena Anara tau itulah dirinya, dan itulah caranya bersinar.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanodya
Teen FictionBagi Anara, Aruna itu luar biasa. Baik parasnya, bakatnya, maupun sikapnya itu melebihi kriteria sangat baik. Aruna itu nyaris sempurna, punya banyak hal yang ia tidak punya. Terlalu berat untuk menjadi seperti Aruna. Bagi Aruna, ia terlalu lemah u...