Satu

237 10 0
                                    

"Apa aku tidak masuk daftar orang yang terluka di matamu? Tentu saja, aku tidak cukup penting untuk itu kan?"

Hah! Dialog itu masih terngiang-ngiang ditelinga Agya Sofia, padahal sudah hampir satu jam yang lalu drama korea itu berakhir. Gya duduk di tepi ranjang dengan fokus mata memandang lekat ke arah layar laptop, mencoba melanjutkan apa yang harusnya ia kerjakan sejak tadi.

Sial! Otaknya buntu. Gya mengumpat frustasi, lantas mengacak rambutnya sendiri secara kasar. Kemudian, beranjak keluar kamar menuju dapur.

Sekaleng minuman soda, mungkin bisa membuat otak yang membeku, sedikit mencair, begitu pikirnya.

Gya melewati ruang keluarga setegah tidak peduli. Hanya ada adik laki-lakinya, Gio, yang sedang berbaring di sofa tengah asik membaca komik di tangannya.

Gya heran, apa matanya tidak sakit membaca dengan cara seperti itu? Gya menggelengkan kepalanya tidak peduli, lalu melanjutkan niat awalnya menuju kulkas andalan. Membuka pintu kulkas dan matanya langsung terbelalak mendapati tak satu pun minuman soda yang tersisa.

Gya menghentakkan kakinya kesal, lalu membanting pintu kulkas dengan kasar.

"Kalau udah kerja terserah mau banting apapun, tapi sekarang nggak boleh!"

Gya berjenggit mendengar protes yang tak terlihat sosoknya. Satu hal yang Gya tahu, itu suara ibu. Dia pasti sedang asik berkutat dengan bunga vinca viralnya di balkon samping rumah. Gya hanya mengerucutkan bibirnya, diam tak menyahut.

"Makanya cepat siapin skripsi, habis tu kerja, habis tu baru banting pintu kulkas."

Gya mendelik karena suara kali ini adalah suara Gio. Bocah kelas satu di Sekolah Menengah Atas.

"Diem, ya, anak SMA! Kalau baca buku, baca aja. Nggak usah ngoceh!" Gya membalas sengit. Tak ada balasan? Berarti perang dunia bisa dihindari.

Beginilah nasib mahasiswa semester akhir. Dosen, orang tua, bahkan adik pun ikut andil dalam menyakiti hati.

Gya kembali ke kamar dengan hanya terpaksa puas membawa segelas air mineral. Sesampainya di kamar ia menyeruput sedikit demi sedikit air mineralnya demi menghayati nikmatnya rasa khas air mineral.

Gya menghela napasnya, lalu mencoba kembali menatap layar laptop. Berpikir sejenak, dan ... Akhirnya option close yang ia pilih. Terserah. Ter-se-rah!

Gya beralih ke folder musik di laptopnya. Memilih lagu favorit, lalu mengklik options play. Meski mendengarkan lagu dengan volume tinggi cukup lama, namun sepertinya suasana hati Gya tak juga kunjung membaik. Ia menutup semua program, lalu mematikan laptopnya, hingga layar berubah gelap.

Ia kembali beranjak, setelah sebelumnya mengikat cepol rambutnya. Mengambil sigap switer berwarna mustard dan memakainya, lantas melangkah dengan pasti keluar rumah.

"Aku keluar sebentar."

Gya mencoba meminta izin pada ibu dengan setengah berteriak. Ya, setidaknya Ibu tidak akan berpikir anaknya hilang diculik, kan?

Gya benar-benar keluar rumah setelah samar-samar terdengar jawaban dari ibu. Ia kembali melangkah dan meraih sepeda yang terpakir manis di sudut garasi. Seperti inilah yang Gya suka, berjalan di sore hari dengan mengayuh sepeda kesayangan.

Sepoi angin menyapa beberapa helai rambut hitam Gya yang terlepas dari ikatan. Kulit wajahnya juga tidak luput dari jamahan angin, menghempas dengan begitu mesra. Benar-benar menyenangkan.

Gya mempercepat kayuhan sepedanya untuk meluncur di sepinya jalan sore kompleks perumahan. Ya, penghuni kompleks ini tampak terlalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri, pulang hanya untuk tidur saja.

"Gya!"

Gya menoleh dan mendapati Rafish berusaha mengiringi laju sepeda kuning Gya dengan sepeda kelabu miliknya. Gya terpaksa memperlambat ritme kayuhan, agar bisa beriringan dengan tetangga barunya itu.

"Baru pulang sekolah?" Gya menelisik pakaian yang dikenakan Rafish dari atas sampai bawah.

"Dih! Aku udah lulus, ya," prostes Rafish sengit.

Entah kenapa raut cemberut yang ditunjukkan Rafish justru terlihat lucu di mata Gya, hingga membuatnya terkikik geli. Rafish memang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas tahun ini.

Tawa renyah Gya tersebut justru membuat Rafish mencibir.

"Bukannya ngerjain skripsi malah keluyuran."

Deg!

Rupanya bukan hanya Dosen, orang tua, dan adik saja yang menyakiti perasaan mahasiswa semester akhir, tapi juga tetangga.

Suasana hati Gya hancur lagi. Ia mendengkus keras untuk memperlihatkan betapa ia sangat kesal.

"Oh! Jadi capek-capek ngejar aku cuma mau bilang itu?" Gya mendelik tajam.

"Iya," balas Rafish dengan tampang super polos, lalu nyengir seenak jidatnya.

Gya mendengkus lagi. Kemudian, kembali mengayuh sepedanya dengan cepat agar bisa meninggalkan Rafish.

"Eh! Ngambek."

Samar-samar Gya mendengar Rafish berujar, namun ia tidak peduli.

Rafish berhasil menyusul dan muncul lagi di samping Gya, namun Gya kembali menoba meninggalkannya lagi dengan mengayuh  semakin cepat.

Citttttt!

Secepat kilat Rafish menikung tepat di depan Gya, hingga membuat perempuan berkulit kuning langsat itu terpaksa menekan rem sekuat yang ia bisa.

"Ikan! Loe, gila, ya?!" maki Gya dengan jantung berdebar.

Bukannya minta maaf, Rafish justru tersenyum lembut. "Aku bercanda."

"Tapi sayangnya, nggak lucu," sembur Gya sebal.

"Kalau aku nggak nanyain, nanti dibilang nggak peduli."

Astaga ini bocah. Kalimatnya sok dewasa banget.

Rafish menumpukan dagunya ke stang sepeda dengan sok imut, menatap Gya dengan tatapan khas anak kucing, membuat Gya mau tidak mau tertawa juga.

Rafish ikut tersenyum.

"Makanya cepat wisuda."

Raut wajah Gya berubah sangar lagi. Ia kembali medelik, lalu akan mengayuh sepedanya lagi ketika Gya dengar Rafish kembali bersuara, "Habis itu aku lamar."

UHUK!

Berondong KesayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang