Genre: Horor-Romansa
Selamat membaca sepenggal kisah ini
Semoga suka
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Di mana ini?” Seorang gadis berambut hitam sebahu dan berkulit sawo matang bermonolog sambil celingukan. Banyak pohon pisang di sekitar kiri dan kanannya seperti kebun di belakang rumah. Bedanya ketika membawa pandangan turun, dia mendapati dirinya berpijak pada jalan setapak yang mengarah ke dataran tinggi. Bukan rawa kecil.
Napas Mutia Maharani menderu selaras dengan jantungnya yang bertalu-talu. Seingatnya tadi, dia menangis sampai ketiduran gara-gara Dion baru saja memutuskan hubungan mereka secara sepihak dengan alasan ingin fokus belajar.
Alasan yang cukup basi menurut Mutia. Padahal dia sudah mendengar dari sahabatnya kalau Dion suka dengan Weni, anak jurusan IPA III. Mutia hanya tidak memercayainya sampai keraguan itu menuntunnya pada kebenaran asumsi sahabatnya.
“Ini mimpi, bukan, sih?” tanya Mutia, masih sambil celingukan. Jelas lebih memilih mengesampingkan rasa sakit hatinya demi mengetahui secara pasti di mana dirinya berada sekarang serta situasi apa yang sedang dihadapi.
Tangan Mutia naik untuk menutupi wajah akibat paparan sinar mentari senja yang menyilaukan, yang mengintip di balik daun-daun pohon pisang. Burung-burung terlihat terbang di langit oranye. Suara kicauan mereka terdengar samar.
Sekali lagi Mutia menghela napas lalu daun telinganya dibelai oleh suara krasak-krusuk yang sangat jelas.
“Apa itu?” Mutia kembali sigap. Kedua tangannya menggosok-gosok bahu.
Ketika suara itu semakin jelas dari arah kanan, secara perlahan Mutia menoleh. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti dan kemampuan bicara serta berpikirnya lumpuh. Sebelum akhirnya dia memelotot dengan mulut menganga lalu berteriak, “Ulaaarr! Argh!”
Mutia berlari, tersaruk-saruk ke bukit. Dia tidak peduli arah dan betapa berbahayanya jalan setapak sempit itu.
“Tolong ...!” lolong gadis berkaus oblong oranye dan bercelana olahraga itu. Tangan kanan dan kirinya sibuk menangkis daun-daun pisang yang terkena wajahnya. “Tolong—aduh!” Mutia tersandung batu lumayan besar dan jatuh menggelinding ke lereng lembah. Kakinya terkilir. Sandal jepit kanannya hilang. Sedangkan yang satunya putus.
Sial benar nasibnya.
Belum sempat Mutia diberi waktu untuk merintih kesakitan, entah bagaimana ceritanya ular itu masih mengejarnya sehingga membuatnya menjerit lagi. “TOLONG!”
Ular hitam seukuran lengan Mutia sudah siap menggigit. Gadis itu menjerit sambil memejamkan mata rapat-rapat. Air matanya bahkan sudah mengalir deras bak bendungan bobol. Dia berdoa apabila ini hanyalah mimpi belaka, dia ingin segera bangun. Apabila tidak, dia ingin ditolong.
“Jangan ganggu dia!” seru seseorang. Dari suaranya yang berat dan dalam, Mutia yakin itu seorang laki-laki.
Mutia memberikan diri membuka mata. Pengelihatannya memang masih kabur oleh air mata, tetapi bisa melihat seorang laki-laki berbaju koko warna khaki sedang ngos-ngosan. Tangan kiri laki-laki itu menggenggam ranting kayu. Entah kayu apa. Mutia tidak tahu lantaran tidak menemukan pohon lain selain pohon pisang.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya pemuda itu kepada Mutia. Dilemparnya ranting kayu tersebut ke sembarang arah sambil mendekati gadis itu.
Mutia terpekur lantaran heran laki-laki di hadapannya tidak memiliki filtrum seperti manusia pada umumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARK AND WILD SIDE
Short StorySepenggal kisah dari imajinasi liar dan sisi gelap ©®Chacha Prima 2019-2022