Bagi kamu yang membaca ini, kuharap tak akan pernah bosan dengan kisah-kisah yang aku tulis.
Selamat membaca, semoga kamu suka
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Kita putus aja.”
Aku mengerjap, berharap pendengaranku keliru dalam menangkap maksud pacarku. Sehingga kuputuskan untuk bertanya, “Kita apa? Putus?”
Namun, cewek berambut lurus sepinggang itu tidak menjawab. Hanya berdiri dengan genangan air mata di pelupuk—yang aku yakin—siap tumpah kapan saja apabila ia mengerjap sekali. Sedetik kemudian rambut hitam itu bergerak mengikuti kepalanya yang menggeleng. Sebelum pergi, meninggalkanku yang masih terpekur. Berasumsi bahwa pendengaranku memang tidak sedang bermasalah dan ia benar mengucapkan tiga patah kata terkutuk itu.
Kau tahu bagaimana perasaanku? Seperti baru saja disulap menjadi kanebo kering begitu mendengar kata ‘putus’ dari pacar yang bahkan baru kumiliki selama sebulan. Ya. Kau tidak salah baca. Sebulan.
Apa salahku? Tolong sebutkan!
Pikiranku lantas ditarik ke momen beberapa bulan lalu, ketika pertama kali bertemu dengannya saat penerimaan murid baru.
Cewek itu tidak sengaja melawatiku yang akan bermain basket—meski sekolah sedang libur, tim basket sekolah kami tetap latihan. Ia lantas bertanya tentang letak ruang teater untuk audisi murid beasiswa jalur prestasi, salah satunya dalam bidang musik. Karena kebetulan lapangan basket bersebelahan dengan ruangan itu, jadi aku menunjukkan jalannya.
Aku ingat betul. Sebelum mengantarnya, aku sempat mengamatinya sejenak. Cewek itu tidak secantik cewek-cewek lain yang pernah dekat denganku. Badannya tergolong kurus. Bahkan tingginya hanya sepundakku. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Cara gadis itu bersuara serta menatap dengan binar matanya dan benda apa yang tengah tersemat di punggungnya.
“Lo main gitar buat audisi?” tanyaku penasaran. Sembari berjalan berdampingan dengannya.
“Iya,” jawabnya ringkas, getsture-nya gugup.
Untuk beberapa saat yang singat, kami pun tiba di depan ruang teater.
“Ini ruangannya. Good luck,” ucapku.
“Makasih.”
Semestinya, kakiku sudah melangkah ke arah lapangan basket. Namun, entah kenapa malah berhenti lalu menghadap gadis itu kembali. Mengamatinya yang sedang mencoba menenangkan diri dengan menarik serta mengeluarkan napas beberapa kali sebelum membuka pintu pintu kayu cokelat tua ruang teater dan melesak.
Tubuhku mengambil alih pikiranku untuk mengikutinya masuk dan duduk di kursi penonton di deretan paling atas. Ada beberapa murid yang juga sedang menonton, atau audisi—aku tidak tahu. Saat itu fokusku hanyalah gadis itu yang sudah berdiri di panggung kecil menghadap guru musik sekolah kami yang menjadi juri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARK AND WILD SIDE
Short StorySepenggal kisah dari imajinasi liar dan sisi gelap ©®Chacha Prima 2019-2022