Getaran dan bunyi ponsel dalam saku celana pendekku mengiringi deburan ombak pantai di hadapanku. Bibirku melekuk membentuk senyum secara otomatis akan kenyataan itu.
Tak ingin buru-buru, aku mengambil gawai tersebut sesantai mungkin sebelum menggeser layar dan menempelkannya ke telinga. “Halo selamat malam, Sayangku.”
“Jethro, Sayangku ...,” bisik suara feminin di seberang sambungan, tambahan desah panjang menjadikan satu garis bibirku lebih tertarik ke atas.
“Gimana? Kamu bisa ke sini kan, Alona sayang?”
“Jethro, Sayang, itu masalahnya. Malahar nggak ngasih izin.”
Aku mendesah panjang, berharap suara hantaman ombak bisa mengalahkan suguhan galaunya hatiku. Bagaimana tidak? Keiginan begitu besar mengajak pacarku bernama Alona untuk liburan ke pulau Rote mengentak-entak dalam rongga dadaku. Pun, angan-angan maha luas dalam pikiranku. Namun, terhalang restu anaknya yang seumuran denganku.
“Dia beneran nggak suka sama aku ya, Sayang?” eluhku.
“Jangan gitu dong, Jethro. Malahar cuma jalanin tugasnya sebagai anak buat jagain aku. Yah, dia masih janggal aja sama kamu.”
Aku berdecak. “Jangan gitu apa lagi sih, Sayang? Kita udah berapa lama backstreet kayak gini? Hampir setahun, Sayang.”
“Malahar cuma ngerasa aneh aja, kenapa cowok semuda, sekece, se-high class dan seganteng kamu mau sama aku, ya kan?”
“Sayang, jangan mulai lagi deh. Itu Malahar atau kamu yang ragu sama aku?” tuntutku.
“Bukan aku kok, Jethro.”
Kenapa Malahar tidak percaya padaku? Apakah yang kulakukan selama ini maaih kurang untuk membuat ia percaya bahwa aku menginginkan ibunya? Sangat meginginkan wanita itu.
Telah tahu ke mana arah percakapan ini, aku lantas melancarkan jurus yang tak bisa Alona elak.
“Kamu tahu nggak, Sayang? Aku sekarang ada di mana dan habis ngapain?” Aku memijat pelipis dan sekali lagi mengembuskan napas di antara suara hantaman-hantaman ombak.
“Aku nyalain video call-nya ya?” pinta Alona, sangat pintar membaca keinginanku yang tidak kuucapakan.
Aku menyanggupi dan wajah cantik Alona, segera memenuhi layar. Sedangkan aku? Sengaja tidak memperlihatkan wajahku. Melainkan menunjukkaan kotak beludru marun berbentuk hati berlatar belakang rumah tepi pantai dengan lampu-lampu gantung, dengan selendang-selendang transparan yang menari berkat alunan angin semilir malam hari. Rumah impian Alona.
“Oh My God, Jetrho. Kamu nyiapin itu buat aku?”
“Iya, Sayang, aku nyiapin ini udah dari lama. Lanjut ngasih selendang-selendang itu sore tadi. Persis kayak rumah impianmu, Sayang.” Aku bersuara malu-malu, berdeham satu kali lalu kembali tegas. “Makanya kalau kamu nggak dateng, aku pasti bakalan sedih banget.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DARK AND WILD SIDE
Short StorySepenggal kisah dari imajinasi liar dan sisi gelap ©®Chacha Prima 2019-2022