"dia sedikit gila. tak usah kalian tanggapi."
"Dwi sedang hilang akal. berbaik hatilah dengannya."
"sejak ditinggal seluruh keluarga, dia nampak amat memprihatinkan."
"kasihan sekali anak itu. masih kecil harus hidup sendiri."
"apakah dia butuh di bawa ke rumah sakit jiwa? setidaknya akan membaik."
Dia dan dia selalu jadi bahan celoteh-celoteh kemunafikan mengaluni acara suci yang mengantar mayat pada tanah hitam. Jika senyur tak mahir mendombakan dengki maka bisa saja dia mengutuk sumpah serapah manusia licik yang sok perhatian tapi nyatanya sejati melukis kurva.
Persetan dengan janji sopan pada semua orang. Mereka memancing murka penuh amarah, bukan memberi aksara gairah agar senyur nafsu bersuara memenuhi gema kesunyian dengan sajak menuntut keadilan tapi malah melahirkan dosa pada muka polos menciut rasa kemanusiaan.
"apa mulut kalian butuh saya perban? bising sekali ocehan sampah itu."
"saya tidak butuh dikasihani. jika hadir kalian hanya mengundang dosa jadi lebih baik pamit dari sini."
Gelombang kritik itu sudah memuncak. Dwi membuka pintu suara artinya ingin memusnahkan insan di segala sudut ruangan bukan dengan ancaman namun tamparan.
Para serdadu perlahan sadar diri mengikis kepadatan udara dan mulai melenggang menyerbu lubang kehidupan, mungkin ucapan senyur memberi sedikit kesadaran pada mereka. Seupaya terlihat normal seperti manusia kebanyakan agar tak diinjak-injak ananda buta pengetahuan.
"terimakasih buat kalian yang sudah hadir. bisa tinggalkan saya sendiri disini."
Perintah senyur tak memaki akan tetapi mereka jinak pada tuntutan. Puluhan tungkai mendayu saling melawan arah tapi masih terpaku kiri dan kanan bukan ke cakrawala. Membiarkan Dwi bersama keheningan menangisi kematian kulawangsa.
Istana itu kini terlihat sama dengan gubuk, kosong semua kemewahan jika penghuni berpindah pijakan dalam nirwana. Bak manusia pertama yang tercipta tanpa kawan merutuki kebodohan semasa hidup dalam lapisan bumi.
"kalau di bumi ini kami tak bisa lama merajut ceritera tapi kuharap dalam singgasana pencipta kami akan awet menjadi pelakon."
Palang pintu yang tadi terbuka lebar kini mulai menutup rapat harapan untuk para pasokan udara memasuki istana. Sunyi menguap dalam bilik antik berbalut warna cokelat dengan dekorasi lawas bak peninggalan dari zaman purba. Megah tiada banding dari seluruh graha di penjuru benteng pulau jawa.
"sekarang apa?"
Sekeliling istana hanya ada benda mati dan dia cuma menatap iba panca figur kulawangsa dengan senyum abadi memancing pilu derai tirta.
***