Sunyi menenggelamkan nafsu bungkam merangkai seuntai laknat pada serat kehancuran yang semakin kentara wujud.
Sepasang telinga mendegar alunan patah di atas birama petik dawai- kumandang menampung kosong dalam hutan tertinggal senyur dan sebaris cedera bukan pada jangat murni namun jauh ke dalam belenggu.
Surai legam saling bertaut melekat pada ubun kepala yang segera mengirim pesan untuk otak jika senyur akan mengatup netra.
"disini sudah sepi, pantas Kau merebut kosong yang segera menumpah keributan komentar tak tersisip sukur?"
"kalau aku manusia paling berdosa di muka bumi ini, lantas kenapa tak lekas mencabut jiwa kotor ini?"
Tirta sudah aman tersembunyi dalam kelopak kini siap jatuh membasuh muka. Gemetar jari itu mengunci kesepuluh kuku, semakin kuat melipat beriring dengan kaki yang semakin kaku digerakkan.
"Tuhan, haruskah desember ini sajak luka kembali melantun kaset usang yang sudah jauh kulempar dalam lembah masa lalu?"
Ranjang itu menjadi bukti begitu rapuh sang senyur yang lelah bertopeng bahagia dalam panggung sang pencipta. Memilih dia sebagai pelakon utama siap menderita walau sebenarnya ingin menyerah.
"entah sudah berapa kali aku menyebutMu dan-
kenapa harus aku? kenapa? kenapa?"
Gema suara itu memenuhi bangunan tua, senyur masih terpaku berdoa meminta layak seorang hamba haus tuntut sempurna. Baling-baling tentram menghias ekadasa bulan bersama palsu mimik mereka menyebut hakikat setia tetapi menyisakan kemarahan.
"amerta mana yang kalian maksud wahai kulawangsa?"
Sebuah tanya rutin disuarakan bibir senyur setiap larut malam membuktikan dia menanti ujung cerita yang dipersiapkan pencipta. Sutradara sebagai pengambil alih atas sengsara dan lengkara dalam isi kepala tak kenal jemu memadatkan tipu daya.
"teruntuk saya yang sedang berlaga dalam adegan jagat raya, semoga pukah hari ini mempertemukan kita dengan buntara."
Penutup harap selalu sama. Jari yang tadinya mengunci kini mulai renggang dan kelopak basah itu perlahan kering serta membuka, dengan sayu dia membaringkan daksa hingga kantuk datang menghampiri.
ׂׂૢ་༘࿐
- ͙۪۪̥˚┊❛ [Dwipanca Baswara] ❜┊˚ ͙۪۪̥◌
"Kalau mata ini pandai melihat, sangat saya pastikan munafik musuh terpantul jelas."
"Kalau mulut ini tak malu bersorak, berbangga hati saya merobek untaian bajingan."
Menemani anda menelurusi labirin cerita. Dwi sebagai pemain pertama sisanya sebagai pendukung pilu.