Inilah dunia, siapa yang menjadi tempat teduh kalau waktu sendu saja dia mencari alasan agar teman berlabuh pada tujuan serdadu.
Vishaka Alhasan Kamaniya, begitulah asma dirajut oleh Ayah Ibu. Saat tangis pecah mencakar tembok bahagia juga ilusi bagaimana rupa si pahatan pencipta. Hidup sederhana telak menghiasi langit-langit kehidupan, akan tetapi puan belajar bersyukur terhadap apa yang dimiliki pun dengan luka dituang semesta.
Dalam rumah kecil ini, keluarganya terbilang cukup untuk segala hal. Setidaknya mereka punya tujuan untuk pulang bukan? Begitulah cara Ayah ajarkan setiap kali anggota keluarga meracik oceh. Walau tidak semegah rumah di seberang sana, tapi fase bahagia sedang berpihak pada sederhana ini.
Gabah tempat puan pulang hanya memiliki luas tidak terlalu besar. Cukup untuk berlindung kalau rintik hujan menyerbu dan ketika terik matahari menyengat.
Kedua sisi dinding penuh dengan potret-potret mereka. Sebelah kiri terdapat figur anak dari Ayah, menempah ilmu hingga jenjang yang masih sanggup orangtua tanggung. Sedangkan kanan hanya tentang bagaiman mereka berkelana lalu meninggalkan jejak penuh sukacita.
Visya, begitulah singkat panggilan digunakan penghuni rumah untuk si puan jelita. Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya sudah sukses mengadu nasib di kota orang. Satu-satunya andalan orangtua hanya dia seorang. Setelah rumah sepi, Visya sudah mulai berani mencari sesuap nasi. Katanya ingin mengurangi beban Ayah, padahal dia tahu biaya yang setiap kali kedua kakaknya beri cukup untuk melanjutkan hidup.
"sya, kamu tahu anak orang kaya di seberang sana?"
Ucap Ibu baru saja masuk rumah setelah pergi entah kemana. Dia membawa sekantong belanjaan yang diduga puan adalah sarapan.
"tahu."
"kelima keluarganya tewas waktu mereka ingin berlibur ke bali."
"serius bu? terus dwi gimana?"
"tadi ibu melayat sebentar dan lihat dwi sama sekali tidak menangis. hebat banget dia bisa tegar begitu."
"bahkan gak ada yang tahu sehancur apa dwi sekarang." puan berbicara berbisik-bisik. telinga siapapun akan mendengar dia sedang membaca mantra bukannya mengajak bicara.
"kenapa sayang? kamu ngomong apa?"
"ha...? aku ngomong apa emangnya?"
"mcikk kamu ini. ya sudah, ibu ke dapur dulu."
Puan memutuskan keluar rumah lalu melihat seberang rumah sudah ramai pengunjung dengan balutan baju dominan putih. Agaknya dia ingin ikut menyuarakan pilu tapi apa si pemilik rumah masih mengingatnya?
kali ini aku harus mulai memperkenalkan diri lagi. semoga dwi tidak lupa dengan gadis kecil yang pernah dia ajak main.
***