Hari pertama senyur lewati masih dengan tetesan luka. Tertatih bicara seakan tuna wicara yang lupa mengatasi gembong suara. Para serdadu terus saja memberi sayatan kata. Mereka bilang selalu kuat mengatasi masalah, namun setelah itu mengumpulkan manusia lainnya dan belakang cermin malah bersilat lidah. Dasar kalian banyak akal untuk bertukar topeng kemunafikan.
Tak sempat ada akar pikiran gila kalau senyur menjalani hidup bersama kesendirian, akan tetapi sebelum ataupun sesudah kulawangsa dijemput maut tetap saja dia pelit bicara. Mungkin, entah itu karena mahir melakoni peran si manusia hening atau sebab seluruh bumi tak baik menyambut hadir senyur.
Kasarnya kenyataan adalah, dia tak perlu belajar menempah bagaimana terbiasa sendiri. Namun, siapa dia tanpa belas kasih panca kulawangsa.
Kalau semesta begitu buruk memberi polesan kesan hari-hari yang dijalani, senyur akan bersembunyi dalam hangat tutur lingkup kandung. Kalau daksa perlu tempat rehat dan menuang porsi atas padatnya kalimat rancu, maka penghuni gabah siap siaga memasang telinga.
Hari ke enam, tepat! Semua pahatan pencipta akan mewarnai penghujung minggu dengan berkelana tanpa tujuan atau eloknya akan ditemani sang pelukis harapan.
Di bawah penerang serupa warna swastamita, duduk tenang si senyur menatap iri sudut-sudut bahagia milik manusia lain. Seberang jalan ada sepasang manusia sedang dicumbu manisnya cinta. Dengan kurva manis, suara derai harsa, bumbu mesra. Sederhana tapi berhasil memicu rasa ketidakadilan dalam relung tuan dwi. Belum lagi beberapa kulawangsa dengan perangai buah cinta bergelut manja meminta perhatian orangtuanya. Sungguh, jika ada batu tak kasat mata akan dilempar dwi tepat sasaran. Hanya penonton kebahagiaan membuatnya dipenuhi sumpah serampah tak bernilai.
"agaknya aku tidak boleh membawa perasaan lebih. mereka juga punya waktu sedih sendiri."
Rumput yang awalnya hidup sejahtera kini tamat usia karena tangan dwi asik mencambuti tanpa ragu. Padang rumput sebagai alas atas bokong masih aman terpaku diam.
Dua jam lamanya dia memandangi tanpa berminat pindah lokasi. Singkat saja, dia butuh wadah untuk menuang pilu tapi kemana? Teman saja tak punya apalagi kekasih. Satu-satunya tempat sudah berangkat menuju nirwana.
"hai, mas. butuh aqua?"
Itu suara seorang dara menawarkan barang dagangannya. Menaruh harapan kalau-kalau lawan bicara menerima penawaran dan dia bisa pulang membawa selembar uang untuk sesuap nasi.
Lantas dwi menengadahkan kepala, ingin lebih jelas melihat siapa gerangan pemilik suara. Ternyata satu taruni dengan perangai manis masih menunggu gerbong suara terbuka.
"boleh. saya beli satu ya."
"baik, mas. ini!"
"terimakasih. berapa?"
"hanya lima ribu saja."
"ini uangnya, kembaliannya ambil aja."
"terimakasih banyak, mas."
Kemudian sang dara memutuskan kembali menawarkan dagangan ke manusia lainnya. Dan dwi masih betah menatap kemana langkah kakinya- sang dara pergi, hingga kedapatan dia melihat dwi lalu memberi senyum selebar mungkin. Bibir itu sampai menipis karena mengikis tebal pemalut merah muda.
Entah bagaimana prosesnya, taruni menghampiri tuan dwi. Tanpa izin darinya langsung menempatkan posisi ternyaman tepat di sampingnya.
"mas, malam minggu begini gak bawa pacar?"
kenapa sok akrab sih? Padahal aku gak kenal dia siapa
"ah iya, memang masih sendiri aja hehe."
"masih sendiri atau memaksa sendiri?"
***