chapter 6

141 34 20
                                    

"Lo ngapain sih mondar mandir kaya setrika?"

Rajen yang sedari tadi asik bermain PS di kamarnya kini terganggu oleh kehadiran Indira sejak setengah jam lalu. Gadis itu sibuk mondar mandir, kadang menoyor kepalanya sendiri.

"Gue lagi bingung."

"Ngapa Lo? Perasaan hidup Lo ga jauh jauh dari overthinking. "

"Jadi gini.."

Flashback.

"Dinda."

Dinda, gadis dengan bandana biru yang sedang merapikan beberapa kanvas itu menoleh, Indira berdiri di pintu ruang senluk.

"Indira? Kenapa? Masuk aja."

Saat masuk, begitu banyak lukisan lukisan keren yang mampu membuat Indira terpesona.

"Gu-gue mau bilang sesuatu."

Dahi Dinda berkedut, nampak terpikir sesuatu. "Oh pasti tentang pameran, kan? Tadi Devan sempet bilang ke gue, katanya Lo mau berpartisipasi dalam pameran lukisan."

"Iya itu, apa boleh?"

"Hem..boleh sih, gue juga udah pernah liat hasil lukisan Lo, okelah. Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Lo harus gabung ekskul senluk, simple aja, gimana?"

"A-apa ga bisa gue ikut pameran tapi ga harus gabung ke ekskul senluk?"

Dinda menghela nafasnya dan tersenyum kecil. "Para panitia dan guru udah sepakat, kalau pameran lukisan hanya boleh oleh anggota senluk. Belajar dari pengalaman, gue ga mau kejadian kaya tahun kemarin dimana siswa yang bukan anggota senluk berebut pengen lukisannya jadi nomor satu, di depan lah, di etalase atas lah, dan memicu keributan lain. Gue ga mau merusak kerja keras anggota OSIS yang pastinya udah capek nyiapin festival pentas seni ini. Apalagi anggota ekskul gue sendiri, gue ga mau kerja keras mereka malah ga di lihat. Kalau mereka tau gue ngizinin Lo yang bukan anggota ikut pameran, mau bilang apa gue? Ini sebagai bentuk apresiasi gue sama ekskul ini. Keputusannya balik lagi ke Lo, senluk selalu nyambut keluarga baru, tenang aja, Lo ga akan terasingkan disini, karena disini kita sama sama belajar."

"Gimana dong Jen?" Indira duduk di kursi putar Rajen.

Rajen berpikir sejenak. "Keren juga pemikiran Dinda. Yah menurut gue, Lo ikut aja sih, selagi Lo ga melanggar kaidah, dan ga merugikan, kenapa engga?"

Wajah cemberut Indira cukup membuat Rajen mengerti, gadis itu tidak mau, bimbang.

"Ndi, pikiran dan hati emang kadang ga sinkron, tapi untuk kali ini, coba Lo tanya hati lo, Lo mau ini kan? Karena ini mimpi Lo dari kecil, Lo ingin karya Lo hidup. Coba juga Lo pikir deh, kesempatan gini bisa Dateng dua kali ga? Ini tahun kedua Lo di SMA, tahun depan mungkin Lo ga akan bisa ikut pameran gini lagi. Jadi, selagi ada waktu dan kesempatan, kenapa engga? Coba sinkronkan hati dan pikiran Lo."

"Tapi Jen.."

"Tapi apa lagi? Dinda sendiri yang bilang kalau senluk menyambut anggota baru, ga akan diasingkan. Kalau sampe Lo dikucilkan, itu tandanya Dinda mempermalukan citra dia dan ekskulnya. Ga ada orang yang mau jatuh Ndi, kenapa Lo ga mau bangkit, huh?"

"I-iya deh, gue gabung."

"Nah gitu dong, baru nih adeknya Rajendra." Rajen mengapit leher Indira dengan bercanda.

"IH RAJEN! KETEK LO BAUUU!"

"Wangi gini, hahah!" Rajen semakin mengapit kepala Indira, tidak mau kalah, Indira mencubit pinggang Rajen.

"AWW! WOI SAKIT!"

saat terlepas dari Rajen, Indira segera memukuli Rajen dengan bantal. "GILA LO YA?! BAU GITU!"

Rajen semakin tertawa lepas. Dengan muka yang sebal, Indira berjalan menuju pintu dan menutupnya dengan keras.

Niatnya yang ingin ke kamar sendiri jadi terhenti saat melihat pintu kamar Argy yang terbuka sedikit. Rajen memang memberikannya solusi, tapi kebiasaan Indira - kalau meminta pendapat harus pada dua orang ini.

Tok tok tok

"Gy, gue masuk yah?" Tidak seperti ke kamar Rajen dimana Indira bisa masuk sesukanya, Argy punya peraturan, siapapun yang mau masuk ke kamar harus mengetuk pintu dahulu.

"Hmm"

Pemandangan yang pertama kali Indira dapati adalah rapih, seperti biasa, Argy yang tengah belajar di sebelah jendela yang terbuka. Dari pada AC, Argy lebih suka AC alam.

"Kenapa?" Tanya Argy saat Indira sudah duduk di sebelahnya. Sama saat bersama Rajen, Indira menceritakan kebimbangannya.

"Menurut Lo, gimana?"

Bukannya menjawab, Argy malah membuka sebungkus permen, mematahkannya sedikit, lalu meletakkannya di atas meja, Indira mengernyit dan hanya memerhatikan, tidak lama beberapa semut berdatangan.

"Liat itu?"

Indira mengangguk. "Semut. Apa hubungannya coba?"

"Semut adalah hewan yang solid. Mereka mengerjakan pekerjaan bersama, supaya kebutuhan mereka tercukupi.

Seperti manusia, untuk mewujudkan impiannya, kebutuhannya, atau keinginannya, pasti selalu membutuhkan bantuan manusia lain. Semut itu tidak akan bisa mengangkat sendiri potongan permennya."

Benar, setiap orang itu berbeda. Indira tahu, dua kembarannya ini memang berbeda dalam menyampaikan sesuatu untuknya, tapi tujuannya tetap sama.

"Bantuin gue yah, gue..mau gabung senluk." Ujar Indira.

Argy tersenyum dan mengusap puncak kepala Indira. "Semangat."

"Giliran sama Argy aja Lo adem ayem, coba ke gue, udah kaya singa betina." Rajen yang tiba tiba masuk membuat senyum Indira luntur.

Hanya satu manusia yang tidak pernah mengetuk pintu Argy, Rajen.

"Ngapain lagi Lo kesini. Masih dendam gue sama Lo, sana!"

Rajen kembali tertawa, lelaki itu duduk di atas kasur Argy. "Dendam itu dosa Ndi, ga boleh."

"Abis, Lo nyebelin."

"Nyebelin gini juga Abang Lo, kembaran Lo."

"Abang, nyinyi, beda tiga menit doang!"

"Wle, bodo amat, intinya gue duluan yang keluar."

Argy menggelengkan kepalanya, beginilah jika Indira dan Rajen bertemu. Saat Argy memberrskan bukunya, Indira berseru.

"Gimana kalau kalian temenin gue beli peralatan buat ngelukis? Cat dan kanvas gue udah habis nih soalnya. Yah yah?"

"Boleh." Jawab Argy.

"OGAH, MALES GUE." jawab Rajen

Indira mengerucutkan bibirnya, padahal ini hari Minggu, kapan lagi kan mereka jalan bertiga. Mengerti isi kepala Indira, Argy menghampiri Rajen.

"Ikut Jen."

"Tumben bener Lo mau diajak belanja Gy?" Rajen menaikan satu alisnya. Namun tidak lama, Rajen mengangguk paham dengan tatapan mata Argy. Argy ingin menyemangati Indira.

"Oke gue ikut."

"Nah! Gitu dong! Emang kalian berdua sodara tersayang gue! Dah, gue mau ganti baju dulu!"

Setelah Indira berlalu, Rajen tersenyum. "Akhirnya adek gue kaga nolep lagi. Lo bener Gy, seharusnya kita dukung dia semampu kita selagi dia ada kemauan buat bergerak maju." Ucapnya mengartikan pandangan Argy tadi.

Untunglah Rajen mengerti tanpa harus Argy jelaskan panjang lebar. " Show it up. Let her. "








✨✨

Annoying TwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang