chapter 7

96 10 3
                                    

"Indi, ayo!"

Seruan Dinda membuat kedua kaki itu segera melangkah mendekat. Ruang OSIS sudah cukup ramai oleh orang orang yang akan berpartisipasi dalam festival pentas seni.

Berkat dukungan keluarga juga Sifa, Indira jadi bergabung dengan anggota senluk. Berhubung Indira sedang tidak ada pekerjaan, jadilah sepulang sekolah Indira yang menemani Dinda untuk ikut rapat koordinasi.

"Assalammualaikum warahmatullahi wabarokhatu." Devan membuka rapatnya, tidak ada guru.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokhatu."

"Oke terima kasih untuk teman teman yang meluangkan waktunya untuk ikut diskusi hari ini. .."

Dan, rapat itu cukup memakan waktu dua jam lebih, perwakilan ekskul seni - tari, musik, lukis. Mereka nampak begitu aktif dalam menyampaikan pendapat mereka. Indira yang baru pertama kali ikut acara seperti merasa tubuhnya begitu kecil, di kelilingi orang orang yang pandai dalam berpendapat dan berkomunikasi.

Indira menguap beberapa kali, biasanya jam segini Indira sudah sampai rumah, menikmati tidur siang nya.

"Ngantuk Ndi?" Tanya Dinda saat rapat selesai, keduanya tengah mengenakan sepatu.

"Sedikit, gue ga biasa ikut gini soalnya."

Dinda tersenyum manis dan mengacungkan jempolnya. "Nanti juga terbiasa, semangat."

"Thanks. Oh ya, pameran kali ini beneran di jual hasil karyanya?"

"Iya, kata Devan uang nya nanti ga 100 persen untuk pembuat karya, karena 20 persennya akan di ambil sebagai tambahan untuk biaya baksos."

"Baksos?" Indira mengernyit, mungkin karena tidak fokus dirinya jadi tidak mendengarkan banyak.

"Iya, tradisi SMA kita setiap habis ngadain acara. Akan ada acara bakti sosial ke panti panti dan beberapa tempat yang membutuhkan."

"Eh, gue duluan yah udah dijemput." Dinda bangkit dan Indira mengiyakan. Indira masih duduk di depan ruang osis, menunggu Rajen atau Argy selesai dengan kegiatan mereka.

Devan yang baru keluar ruangan sedikit di kejutkan dengan kehadiran Indira. "Eh Van."

"Ya?"

"Itu, baksos nya cuma buat anak OSIS aja yah?"

Devan mengangguk, lelaki itu duduk tidak jauh dari Indira sambil mengenakan sepatunya.

"Kenapa? Mau ikut?"

"Be-belum tau sih.. nanya doang."

"Oh.." Devan ber-oh ria, lalu mengulurkan sebuah id card.

"Ini apa?"

"Id card."

Indira menepuk jidatnya, pasti dia lupa mengambil ini tadi. "Makasih yah. Gue..baru pertama kali ikut kepanitiaan gini, maaf kalau gue banyak nyusahin ntar."

"Kita semua belajar, salah itu bagian terpenting nya."

Mulut Indira sedikit terbuka, Devan benar benar mirip seperti Argy. Bedanya, Devan tidak secuek Argy.

"Kaga boleh natap yang bukan mahram begitu." Seseorang tiba tiba datang dan langsung menutup mata Indira dengan tangannya.

Rajen, siapa lagi yang kalau pakai parfum wanginya seperti bunga kuburan.

"Ish, apa sih Lo tangan Lo bau terasi."

"Enak aja Lo menjatuhkan image gue, wangi gini." Rajen mengendus baunya sendiri.

"Gue duluan." Devan berlalu, namun baru beberapa langkah, suara Rajen menghentikannya.

"WAALAIKUMUSSALAM WARAHMATULLAHI WABAROKHATU" ucapnya sengaja membesarkan suara, hingga Indira menginjak kakinya.

"Ga usah Segede itu juga Rajendra!"

"Biarin, biar setan setan denger."

Indira segera menarik Rajen menjauh atau kalau tidak lelaki ini pasti semakin membuat keributan. "Kenapa sih Lo? Kek sewot banget sama Devan? Itu anak diem diem aja, Lo kenapa kepanasan kaya cacing gini?"

"Eh buset! Abang Lo sendiri di katain cacing, durhaka Lo."

"Heh! Beda berapa menit doang juga, lagian nih yah, ga boleh tau Julid gitu ke orang."

"Emang Lo ga Julid ke gue? Mirrorr ukhti."

"Ck, kenapa sih Lo kaya ga suka sama Devan?"

"Gue masih normal, masih suka yang bening bening."

"Heh!" Indira memukul lengan Rajen dengan geram. Rajen tertawa puas melihat raut menyeramkan itu muncul.

"Mending temenin gue kek nyari inspirasi buat lukisan gue." Ya, jujur saja, tema kali ini cukup menantang untuk Indira. Indira tau, tema kali ini memang tema yang klise, tapi disitulah tantangan nya, Indira harus punya inovasi sendiri, yang berbeda..

"Kemana? Ogah ah, anak indie kaya Lo pasti sukanya tempat yang sepi, ga cocok sama gue yang pelor*"

*Pelor = nempel dikit langsung molor

"Jen..ayo dong temenin gue."

Rajen tersenyum devil, lelaki itu memicingkan mata ke arah batagor di seberang sekolah, melihat tutup panci yang di buka lalu mengeluarkan uap benar benar membuat Rajen lapar.

"Ada syaratnya."

"Ck" Indira menyipitkan matanya menatap Rajen penuh selidik. "Jangan yang aneh aneh ya Lo."

"Kaga aelah, gue cuma minta beliin batagor di depan sana tuh, jalanan kan rame, gue males pake motor pasti harus muter dulu."

Indira menatap jalanan sebrang, tidak dipungkiri Rajen pasti harus memutar arah dulu karena ada road barrier.

Dengan menghela nafas, Indira menadahkan tangan. "Yaudah gue beliin, mana duit nya."

"Heh, kalau beliin itu paket lengkap dong, dibayarin sekalian."

"Lo di baikin ngelunjak yah Jen."

"Iya atau engga? Kalau engga, gue mau futsal nih."

Sebelum benar benar meninggalkan Rajen, Indira menatapnya sinis. "Pantes ga ada pacar, orang pelit gini, kaga modal bener jadi cowo!"

✨✨✨

Annoying TwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang