Katanya, profesional itu sangat dibutuhkan dalam pekerjaan. Meninggalkan masalah seberat apa pun di rumah dan datang ke tempat kerja dengan semangat. Melakukan pekerjaan seperti biasa dengan suka rela.
Lain halnya jika mengantuk. Rasa kantuk tidak bisa ditinggalkan di rumah dan pergi bekerja dengan tenang. Semalaman aku hampir lembur untuk menyambut para tamu dan mencari cincin. Tapi sayangnya tidak diberi hari libur satu hari pun.
Lihat saja Tian, bukannya tersenyum seperti biasa, dia menguap berkali-kali. Walaupun sama mengantuknya, aku berusaha agar tetap tersenyum dan menyambut para tamu.Aku berdoa agar hari ini tidak bertemu dengan Dimas. Aku sedang tidak bisa menahan emosi jika mengantuk seperti ini. Takut kehilangan kendali dan menggigitnya saat sedang berulah.
“Re, kapan kita rehat?”
Aku melihat jam tangan di pergelangan tanganku, “15 menit lagi.”
“Aish, gila. Ngantuk banget,” cakapnya sambil menguap lebar.
Aku diam mengabaikannya. Memangnya cuma dia apa yang ngantuk?
Namun mataku yang tinggal 5 watt ini langsung membuka mata lebar ketika ada motor vespa GTV hitam yang berhenti tepat di depan hotel. Berhenti begitu saja dan berlalu. Meninggalkan tanggung jawab atas motornya yang parkir sembarangan.
“Mbak Tere,” sapanya dengan cengiran lebar.
Siapa lagi jika bukan Dimas yang memiliki cengiran selebar mulut kuda. Bisa ditebak, dia baru pulang dari kuliahnya dan langsung menuju hotel. Staf lain sering ketar-ketir karena Dimas sering berkunjung. Walaupun berperangai aneh seperti ini, dia tetap putra pemilik hotel.
“Apa?”
“Nggak, cuma kangen sama Mbak.”
Tian yang sedang menahan kantuk pun tersenyum mendengar ini. Seorang anak ingusan seperti dia tidak mempan menggombali wanita dewasa sepertiku.
“Jangan disini, kamu ganggu.”
“Ok, Dimas pergi.” Dimas melambaikan tangannya dan melenggang masuk.
Aku dan Tian kompak melihatnya melangkah masuk. Segitu gampangnya mengusir Dimas. Kenal selama 2 tahun, aku tidak yakin dia benar-benar nurut begitu saja untuk pergi dari hadapanku.
“Pangeranmu kenapa?”
“Nggak tau lah, syukur nurut.”
Aku pura-pura tak acuh dan kembali berdiri sempurna. Menunggu waktu 15 menit lagi cukup lama jika sambil menahan kantuk.
10 menit berlalu, Dimas pulang tanpa menyapaku seperti biasanya. Agak aneh ketika dia diam melewatiku begitu saja. Walaupun belakangan aku kesal saat diganggunya, aku cukup terkejut dengan perubahan sikapnya siang ini.
“Dia kenapa lagi?”
“Nggak tau Yan,” decakku kesal karena Tian selalu bertanya.
Sedikit apa pun waktu, jika ditunggu pasti akan terasa lama. Begitu pun denganku sekarang. Istirahat 5 menit lagi, tapi karena aku terlalu menunggunya, jadi terasa lama. Jika saja aku tidak sayang pekerjaan, ralat. Maksudku sayang uang, pasti aku sudah tidur sejak tadi.
“Selamat datang,” sapaku tersenyum bersamaan dengan Tian saat satu keluarga datang.
Aku tebak mereka datang ke Jakarta untuk liburan keluarga. Ayah, ibu, dan kedua anak mereka. Sedikit pertanyaan yang akan secara tidak sengaja terucap dalam hati. 'Bagaimana rasanya punya keluarga?'
Ya, aku hanya pernah menjelaskan mimpiku saja, bukan tentang kehidupanku. Aku pernah bilang, sebelum aku tertawa, kehidupan telah menertawakanku lebih dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Age Range (New Version)
Romance[BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMA KASIH ❤] Menikah karena tanggung jawab tidak pernah terpikirkan oleh wanita berusia matang seperti Tere Imelda. Suatu tragedi yang bukan disebabkan oleh dirinya membuat ia harus menikah dan memegang tanggung...