Happy reading ❤
Belum pernah aku membayangkan akan duduk di depan rumah sendiri. Menyenderkan punggung di dinding dengan wajah murung dan tatapan kosong. Meski kecil namun aku yang membayarnya setiap bulan.
Sekarang aku benar-benar bosan. Aku ingin masuk dan berbaring jika tidak ingat ada satu spesies menyebalkan ini. Dia duduk di ambang pintu sambil memainkan game di ponselnya. Berkali-kali dia menyuruhku masuk, tapi tak sekali pun aku hiraukan.
Sangat membahayakan jika ada tetangga yang mengadu nanti. Bukan takut akan dikomentari pedas, tapi takut digiring ke KUA dan disuruh menikah dengan balita berjakun ini. Benar-benar akan jadi mimpi buruk di dalam hidupku yang sudah buruk ini.
“MbaK Tere, siapa?” tanya salah satu tetangga dengan tatapan penuh selidik.
“Temen, Bu.” Tidak ada pilihan lain selain menganggapnya teman.
“Oh, nggak masuk?” tanyanya dengan tatapan berganti godaan. Memangnya aku ini apa membawa masuk pria yang bukan siapa-siapa.
“Nggak lah, Bu.”
“Oalah, malu-malu.” Setelahnya dia pergi dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.
Mungkin dia berpikir aku seperti wanita di kota besar lainnya. Yang mungkin kebanyakan tidak malu dan tidak canggung membawa pria ke tempat tinggalnya. Benar-benar membuatku risih.
“Ayo dong, masa gini aja nggak bisa.”
“Sekalinya bisa malah bintang satu.”
“Ck, Mbak,” rengek Dimas setelah beberapa kali memekik karena gamenya. Tanpa berniat menjawab, aku hanya menoleh.
“Bantuin satu, dari tadi nggak bisa.”
“Hah?” tanyaku bingung.
Dimas memberikan ponselnya yang menampilkan game di dalamnya. Ternyata di luar ekspetasiku. Bukan game perang-perangan yang sedang umum dimainkan oleh seusianya. Tapi sejak tadi Dimas memainkan game monyet berlari yang memburu pisang. Benar-benar seperti anak TK.
“Monyetnya jatuh terus di detik terakhir. Jaraknya terlalu jauh buat lompat ke atas.”Entah apa yang aku pikirkan. Aku menerima ponsel itu dan memainkan game milik Dimas. Bahkan anak tetanggaku saja yang masih kelas 5 SD sudah memainkan game online yang sedang marak dibicarakan.
Dimas beringsut di sampingku dan melihat aku memainkan game. Sangat fokus hingga tanpa sadar kepalanya semakin menunduk sampai aku harus memiringkan kepala agar melihat gamenya.
Sampai di detik terakhir yang Dimas maksud, aku berusaha agar monyetnya tidak masuk ke dalam air. Aku merasa, aku mulai terpengaruh oleh tingkah kekanakan Dimas.
“Ayo, jangan nyebur plisssss— Yes! Woah!” Dimas mengangkat tangannya sesemangat mungkin. Tanpa sadar bibirku tersenyum sedikit.
Kenapa dia mudah sekali merasa bahagia. Sedangkan aku cukup sulit untuk mencari kebahagiaan. Walaupun aku tidak terlalu mengalami kesulitan, tapi entah kenapa hatiku berkata tidak akan pernah bahagia.
Berbeda dengan pria di sampingku kini. Apa pun itu selalu membuatnya senang. Bahkan saat diusir dari rumah pun dia masih sempat tertawa bahagia. Ternyata kabar tentang anak kecil selalu senang itu benar. Dimas contohnya.
“Thank you. Nanti kalo Dimas nyebur terus mau minta bantuan Mbak lagi.” Dimas kembali mengambil alih ponselnya. Kembali tidak menghiraukanku. Ah, kenapa aku seperti ingin diperhatikan?
Karena bosan, aku mendengus dan kembali menyenderkan punggung. Hari ini benar-benar membosankan walau aku sedang libur kerja. Tau akan seperti ini mending ikut Tian jadi nyamuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Age Range (New Version)
Romance[BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMA KASIH ❤] Menikah karena tanggung jawab tidak pernah terpikirkan oleh wanita berusia matang seperti Tere Imelda. Suatu tragedi yang bukan disebabkan oleh dirinya membuat ia harus menikah dan memegang tanggung...