Mimpi - Isyana Sarasvati
Selamat membaca Age Range New Version ❤❤
•••
“Sidik jari pelaku ditemukan di tubuh korban. Saya sudah mengirimnya ke tim forensik.”
“Bagaimana hasil otopsinya?”
“Dari hasil otopsi, sebelumnya korban mengalami pelecehan seksual sebelum akhirnya dibunuh. Ada jejak darah di alat vitalnya. Semua jari korban memiliki luka agar sulit diidentifikasi.”
“Pelaku tidak memiliki pengalaman membunuh. Wajah korban bisa dikenali tapi tidak dilukai.”
“Baik, kembali bekerja Detektif Choi.”
Dialog di atas bukanlah aku. Aku hanya membaca subtitel yang ada pada bagian bawah film yang aku putar. Jika kebanyakan perempuan mengagumi film bergenre romantis, aku justru menyukai film bergenre misteri, thrailer dan sesuatu yang berhubungan dengan teka-teki.
Mimpiku menjadi seorang detektif profesional yang bekerja di kepolisian. Tanpa seragam hingga aku tidak bisa dikenali. Memecahkan segala teka-teki kejahatan yang akan menjadi pekerjaanku sehari-hari.
Membaca raut wajah adalah keahlianku. Menyelidiki kasus dan mencari pelaku adalah keinganku. Sayang, saat aku bangun semuanya hilang. Mimpiku hilang saat mentari datang.
“Tere, ayo berangkat!”
Tere Imelda. Nama yang diberikan orang tuaku yang penuh dengan arti baik. Namun sayangnya nama tidak mempengaruhi hidup seseorang.
“Bentar!”
Aku mencabut charger yang mengisi daya ponselku. Mengambil kunci kontrakan yang aku tinggali dua tahun terakhir. Mengambil jaket yang akan menutupi seragam kerjaku.
“Ayo.”
Aku dan rekan kerja sekaligus tetanggaku menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum. Sepanjang jalan diselingi candaan dan tawa dari temanku ini. Sayangnya aku sulit tertawa karena kehidupan telah menertawakanku lebih dulu.
“Re, tau nggak sih? Kemarin ada tamu yang senyum sama aku. Padahal kan disana ada kita berdua.” Selain penuh canda, temanku ini juga gemar berhalusinasi.
“Semalam aku langsung mimpiin dia jadi suami. Kyaa ... nggak sabar ketemu dia lagi.”
“Tamu yang mana? Ada banyak tamu kemarin.”
Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meresponnya walaupun aku tak ingin. Karena dia cukup baik, jadi aku agak tidak segan untuk cuek padanya. Lagi pula hanya dia temanku.
“Kamu mah, ih. Yang tinggi, kulit putih, mata minim. Beh, udah mirip Lee Joon Gi.” Menggebu-gebu sekali dia saat berhalu.
Tian namanya. Rekan kerjaku yang aku kenal pertama kali. Bertugas di tempat yang sama membuat rekan kerja yang lain sering memanggil kami dengan inisial nama. Tere dan Tian. Jangan tirukan mereka jika tidak ingin ada yang salah paham.
Kami duduk di dalam angkutan umum yang penuh dengan ibu-ibu membawa barang belanjaannya. Maklum saja, kita pergi bekerja di pagi hari. Dan belanja di pasar sangat tepat jika dilakukan saat pagi. Tak jarang aku menghirup bau ikan dari tubuhku saat keluar dari angkutan umum ini.
Tak butuh waktu lama, aku sampai di tempat kerja. Bukan kantor polisi yang sering aku impikan sebagai profesi impian. Tapi tempat dimana sering didatangi para polisi yang bertugas. Hotel.
Itulah sebabnya aku mengatakan kehidupan telah menertawakanku lebih dulu sebelum aku tertawa. Impian tinggiku hanya sebagai angan saat aku berpindah-pindah pekerjaan yang sama sekali bukan mimpiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Age Range (New Version)
Romance[BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMA KASIH ❤] Menikah karena tanggung jawab tidak pernah terpikirkan oleh wanita berusia matang seperti Tere Imelda. Suatu tragedi yang bukan disebabkan oleh dirinya membuat ia harus menikah dan memegang tanggung...