Selamat membaca ❤❤❤
Musik diputar mengisi ruang pengap penuh tamu undangan. Setiap orang berlomba-lomba tampil mempesona meski harus mengeluarkan uang lebih banyak. Hal itu yang terkadang membuatku bingung dengan orang kaya.
Pernikahan anak kedua Kepala hotel dibuat semewah mungkin. Katanya, pernikahan anak pertama pun dilakukan di sini sebelum aku mulai bekerja. Dan selalu penuh dengan tamu undangan. Tapi aku yakin, pengantin tidak mengenal semua tamu-tamu ini.
Seperti hari-hari biasanya, di hari spesial ini pun aku bertugas untuk menyambut para tamu. Mungkin aku ditakdirkan untuk menunduk pada orang. Sudahlah, memikirkan ini hanya akan membuatku tidak mensyukuri hidup.
"Pengantin prianya ganteng yah," ujar salah satu staf di sampingku.
"Manja banget pengantinnya."
Tunggu, aku rasa mereka salah mengira mana pengantinnya. Pria yang menyender di bahu mempelai wanita itu bukan suaminya. Melainkan pemuda yang selalu mengangguku. Siapa lagi kalau bukan Dimas.
"Yang manja itu anak bungsu Kepala," sahut rekan yang lain. Pantas mereka tidak tau, dua staf itu masih baru bekerja disini.
Aku berdecak di tempat. Adik mana yang menduduki pelaminan kakak perempuan dan menggusur mempelai pria? Hanya Dimas yang bisa.
Mungkin karena anak bungsu, jadi dia tidak segan untuk menunjukan sifat manjanya pada kakak perempuan. Tapi harusnya dia bisa pilih tempat, kan?
"Oh itu anak Kepala? Yang katanya sering berkunjung itu?"
"Wah, gantengnya. Bisa nggak yah aku dapetin dia?"
Tian sudah senyum-senyum dihadapanku. Tentu saja aku maksud dengan senyumannya. Mereka baru mengenal Dimas dari luarnya. Bukan dari sudut pandangku yang selalu naik darah jika bersamanya.
Seseorang dari pihak mempelai pria datang menghadap kami."Saya butuh dua orang untuk membagikan cenderamata. Kalau bisa staf lama."
Aku dan Tian saling memandang. Lalu mengikuti wanita paruh baya tersebut untuk berdiri di tempat cenderamata berada. Sayangnya tempat ini dekat dengan pelaminan. Yang tentu saja aku harus tahan terus disenyumi oleh Dimas.
"Pangeran kamu nggak bisa nutup mulut apa, Re?" bisik Tian yang menjaga kotak amplop.
"Pangeran mana yang manja?" dengusku yang sudah over dosis karena senyuman Dimas.
Jujur, Dimas itu tampan. Benar-benar tampan jika dilihat dari sudut pandangku sebagai perempuan normal. Sayangnya, perilakunya itu yang menggusur kata tampan yang menempel di wajahnya.
Apa lagi jika berpakaian formal dengan kemeja dan tuxedo seperti saat ini. Wajahnya terlihat sedikit dewasa.
Dimas berlalu untuk menghampiriku setelah meminta izin pada kakak perempuannya.
"Mbak cantik banget ganti seragam."
Gombalan macam apa itu? Memang benar seragamku ganti. Tapi apakah pantas dia mengatakannya begitu?"Balik ke posisi kamu."
"Males, nggak ada pasangan."
"Nggak ada pasangan bukan berarti kamu menempel sama kakak kamu. Liat itu pengantin prianya, lebih milih ngobrol di tempat lain." Aku menunjuk mempelai pria yang malang dengan dagu.
"Dia yang culik kak Alisya. Kata ayah mereka nikah karena udah pernah gitu." Dimas menempelkan dua telunjuknya satu sama lain.
Aku menutup wajah karena kesal dengan sikap Dimas. Ini kan masalah keluarganya, kenapa dia bicarakan denganku tanpa ragu sedikit pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Age Range (New Version)
Romance[BIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMA KASIH ❤] Menikah karena tanggung jawab tidak pernah terpikirkan oleh wanita berusia matang seperti Tere Imelda. Suatu tragedi yang bukan disebabkan oleh dirinya membuat ia harus menikah dan memegang tanggung...