Hampir satu tahun Ivana tak lagi dapat menyicipi tidur lelapnya. Ia dirundung perasaan tak nyaman, namun ia juga merasa enggan untuk mengungkapkan. Seolah terperangkap dalam pemikirannya sendiri, Ivana memilih menangis dalam senyap. Menyembunyikan luka hati beserta sederet kecurigaannya yang rapat ia simpan. Ivana tak mengerti mengapa ia menyimpan semua ini, memilih menikmati tangisnya seorang diri, padahal dirinya punya beragam jenis alasan untuk meledakkan amarahnya.
Yang ia tunggu hanya keterbukaan dari suaminya. Ya, Ivana masih menunggu itu.
Ia sudah menyusun beragam langkah kaki setelah kejujuran itu benar-benar diungkapkan. Ia telah menentukan pilihannya sendiri dan itu juga yang kiranya terbaik bagi kedua putranya. Ivana telah bersumpah atas dirinya sendiri akan selalu menjaga anak-anaknya, sampai kapanpun. Merahasiakan segalanya, berakting lugu seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya, juga ia lakukan untuk anaknya. Barangkali, biarlah si bungsu menyecap ulang tahun keempatnya dengan sempurna. Berlukiskan keluarga utuh yang bahagia, meski di dalamnya menganga sebuah luka hati yang telah membusuk sedemikian rupa.
"Bunda, Papa kok nggak pulang-pulang? Daritadi adik sudah menunggu, sampai ketiduran gitu. Tumpengnya juga sudah nggak kelihatan enak lagi," ujar anak pertamanya.
Dengan senyuman yang nampak tulus dan berseri, Ivana mencoba menipu dirinya dan juga orang sekitarnya. Sudah tak ada lagi senyuman tulus yang tersisa dalam dirinya, semua tandas dalam lebam pengkhianatan yang diterimanya. Ivana berlutut di depan putranya, membelai surai hitam milik si sulung, lalu mengecup keningnya. "Kayaknya papa sibuk, sayang. Mas Liam sekarang bobo, ya? Temani adik. Bunda mau beresin semuanya, tumpengnya kita makan besok saja, ya?"
Beruntung Liam mau mendengarkannya, sehingga Ivana dapat tersenyum dengan lega. Liam akhirnya menuruti permintaan sang bunda, menemani adiknya yang sudah tertidur di kamar. Ivana masih menunggu dengan perasaan yang sudah berada diambang putus asa. Seolah tak ada lagi yang perlu dipupuk, sebagai upaya penghidupan hal yang tandus. Malam ini, Ivana menyerah dengan hubungannya. Ia sudah siap untuk hancur, ia siap untuk diberi label seorang janda. Ia tak lagi merasa gamang. Ketidakhadiran suaminya malam ini, memberikan tanda yang luar biasa jelas, bahwa mereka tak lagi dapat terselamatkan.
Selesai dengan pekerjaannya, Ivana menghembuskan napasnya kala didengarnya derap langkah Naratama. Suaminya pulang, saat hari ulang tahun anaknya sudah kehabisan waktu. Gemuruh perasaannya tak senyap, bahkan ia merasa ingin sekali meledak-ledak, sayangnya kontrol diri Ivana terlampau hebat. Ia masih paham bahwa ada kedua putranya yang tak boleh mendengar pertikaian hari ini. Saat perceraian dan perpisahan sudah pasti ada dalam genggaman takdir anak-anaknya, Ivana tak ingin turut menyayat luka lain melalui pertikaiannya dengan Naratama. Perceraian antara kedua orang tua, sudah menjadi mimpi buruk bagi kedua anaknya.
"Kita ngobrol, yuk?" Ivana menarik lengan suaminya, membawa suaminya menuju taman belakang. Dari sana, anaknya tak dapat terbangun lalu mendengar obrolan ini.
Naratama tak menolak, ia menuruti titah istrinya itu. "Aku baru pulang karena ada makan malam dengan client. Kamu mau ngobrolin ini 'kan?"
"Kamu ingat perayaan ulang tahunnya Sakha?"
Naratama mengusap wajahnya dengan gusar, laki-laki itu mengacak rambutnya yang memang sudah sedikit berantakan. Ia menatap lekat sorot mata istrinya, ia juga menggigit bibirnya sendiri, menandakan bahwa ingatannya tak menyimpan agenda itu.
"Sudah, jangan kamu jawab. Aku sudah hubungi kamu, tapi ponsel kamu mati, ke kantor pun jelas nggak ada yang jawab karena semuanya sudah pulang."
"Van, aku minta maaf...."
"Nggak, kamu harus minta maaf ke Sakha. Ini bukan hari spesialnya aku, jadi nggak perlu minta maaf ke aku. Ke Sakha, anak kamu itu sudah menunggu daritadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh (TAMAT)
ChickLit"Pelabuhan tidak selalu hantarkan kabar kepulangan yang merindu, tetapi juga suguhkan pelarian yang pilu." Perihal Ivana dan Naratama yang harus dipisahkan oleh sebuah pengkhianatan, setelah belasan tahun hubungan itu dirangkai dengan segala hal-hal...